Retakan di Tengah Cahaya

Bab 4 – Retakan di Tengah Cahaya

Bhima melompat ke sisi kanan ruangan, menghindari semburan energi hitam yang meledak dari Odo. Suaranya menggelegar dan mengguncang ruang bawah tanah. Debu dan serpihan logam beterbangan, membuat atmosfer makin sesak.

"Odo, hentikan!" seru Bhima. "Kalau kau terus kayak gini, lo bakal—"

"Aku gak tahu caranya BERHENTI!" teriak Odo, matanya kini benar-benar berubah. Bukan cuma warnanya, tapi sorotnya… seperti bukan miliknya lagi.

Sosoknya tegak, namun tubuhnya tampak gemetar. Tangannya mengeluarkan aura gelap yang berkedip-kedip, seakan ada sesuatu yang mencoba keluar dari dalam dirinya. Suara-suara samar bergema di sekelilingnya, seperti gema ribuan bisikan yang tak bisa dipahami.

Bhima meraih sesuatu dari kantung bajunya—kapsul pelumpuh. Ia hanya punya satu. Dan ia benci harus menggunakannya ke temannya sendiri.

Tapi sebelum ia sempat melemparnya, Odo sudah lenyap dari pandangan.

—Teleportasi? Bukan. Kecepatannya yang meningkat drastis.

Bhima nyaris tidak sempat bereaksi saat Odo muncul tepat di depannya, meninju pelindung energi Bhima hingga retak. Kekuatan pukulan itu tak seperti sebelumnya—ada peningkatan kekuatan drastis yang tidak masuk akal.

Bhima terhempas ke dinding. Rasa perih menjalar di punggungnya. Tapi ia tetap memaksa bangkit.

"Odo…" katanya lagi, kali ini lebih pelan. "Gua tahu lo masih ada di dalem sana. Gua tahu lo masih bisa ngelawan ini."

Tubuh Odo kaku. Ia menggertakkan gigi. Suara dalam kepalanya meraung, memaksa, mencakar.

"Mereka mengurungmu. Menganggapmu ancaman. Tapi aku tahu kekuatanmu sesungguhnya. Lepaskan."

Odo menjerit, tangan menekan sisi kepalanya sendiri. Ia terjatuh, menggeliat, tubuhnya bergoyang-goyang tak terkendali. Energi di sekitarnya bergetar—menarik gravitasi, memelintir udara, membuat ruangan seperti akan runtuh.

Dan lalu, semuanya berhenti.

Sunyi.

Odo terdiam di lantai, tubuhnya lemas. Bhima, masih siaga, berjalan perlahan ke arahnya.

"Odo…?"

Mata Odo kembali normal. Ia mengangkat wajahnya perlahan, menatap Bhima dengan ekspresi kosong.

"…aku… aku berhasil nolak dia," bisiknya.

Bhima menghela napas lega, mendekat dan berlutut. "Lo luar biasa, Do."

Tapi di saat itu juga…

Sesuatu berdesis. Sebuah simbol hitam tiba-tiba menyala di leher Odo—seperti tato yang tertanam, muncul dari kulitnya sendiri.

Bhima mundur cepat. "Apa itu…?"

Simbol itu bersinar sesaat, lalu lenyap. Odo jatuh pingsan.

Bhima berdiri, wajahnya tegang. "Kita harus cepat cari tahu siapa yang nanam itu di tubuh Odo… dan kenapa."

Di tempat lain, di markas Dirgantara, Azura sedang menatap layar hologram. Di belakangnya, Altair masuk, membawa dua tablet.

"Data pelacakan dari SubRosa berhasil kita salin," kata Altair, menyerahkan salah satunya.

Azura menyeringai, "Bagus. Sekarang kita bisa tahu seberapa besar pengaruh yang sudah ditanamkan ke tubuh si badut itu."

Altair menatap Azura tajam. "Tapi kita gak bisa kendaliin dia, kan?"

Azura tertawa pelan, getir. "Belum. Tapi saat waktunya tiba… dia akan jadi senjata terbaik kita."

Altair menggenggam tablet erat. "Dan kalau dia lepas kendali?"

Azura menoleh, matanya dingin.

"Kalau dia lepas kendali… kita tinggal matikan."

Malam itu, langit Mentari gelap tanpa bintang. Dan di kegelapan itu… suara-suara asing mulai bangkit—mengintip dari balik batas kesadaran manusia, menunggu pintu untuk terbuka sepenuhnya.

Dan pintu itu… kini sudah mulai retak.