Mata yang Terbuka

Bab 5 – Mata yang Terbuka

Elara menatap layar di ruang kontrol SubRosa, jari-jarinya menari cepat di atas permukaan holografis. Matanya merah karena belum tidur, namun pikirannya tajam. Di sebelahnya, Solara duduk dengan satu kaki naik ke kursi, wajahnya tegang namun tetap fokus.

"Simbol itu muncul di detik ke-37 sebelum Odo jatuh pingsan," gumam Elara. "Tapi sistem nggak bisa mendeteksi jenis energinya. Bahkan sensor sihir pun kacau waktu itu."

Solara menyipitkan mata. "Jadi ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar manipulasi pikiran?"

Elara mengangguk. "Kita ngelawan sesuatu yang kita belum sepenuhnya pahami."

"Kalau kayak gini terus, Odo bisa… pecah," sahut Solara lirih. "Secara mental, maksudku."

Elara terdiam sejenak, lalu menyandarkan punggung. "Dan parahnya, kalau dia pecah… dia bukan cuma bakal bahaya buat kita. Tapi juga buat dirinya sendiri."

Tiba-tiba, notifikasi masuk—Bhima mengirim rekaman baru dari ruang isolasi. Elara langsung membukanya.

Video memperlihatkan Odo tergeletak tak sadarkan diri. Tapi saat Bhima hendak mendekat… mata Odo terbuka. Bukan dengan warna normal. Tapi hitam pekat. Tanpa pupil.

Dan suara yang keluar… bukan suara Odo.

"Waktumu hampir habis, Bhima. Dia akan menjadi milik kami."

Elara menghentikan video di detik itu. Ruangan hening.

Solara menggertakkan gigi. "Milik kami? Jadi mereka itu… banyak?"

"Kalau entitas ini bekerja dalam kelompok… bisa jadi ini bukan manipulasi dari satu orang. Tapi… satu organisasi, atau lebih buruk lagi…"

"Dia?" Solara melanjutkan.

Elara tidak menjawab, tapi ekspresinya menguatkan kemungkinan itu.

Di tempat lain, Ryan berjalan dengan langkah ringan di lorong Pelita Raya, membawa sepiring roti dan secangkir susu. Ia bersiul kecil, seperti tak terpengaruh oleh kekacauan yang baru saja terjadi.

Saat melewati ruang isolasi, ia mengintip lewat celah pintu yang tak sepenuhnya tertutup. Bhima sedang duduk di lantai, bersandar, tampak kelelahan. Odo terbaring di ranjang darurat, masih belum bangun.

Ryan mengerutkan dahi. "Eh… kasian juga ya. Tapi kenapa suasananya kayak kamar film horor, sih?"

Ia mendekat pelan dan menyelinap masuk.

"Bhim… lu mau roti?"

Bhima hanya melirik lelah. "Gue mau tidur seminggu."

Ryan meletakkan roti di sebelahnya, lalu mendekat ke Odo. "Kok dia pucet banget, ya?"

Bhima mengangkat alis. "Jangan—"

Terlambat.

Ryan menyentuh tangan Odo, dan dalam sekejap… pandangan Ryan kabur. Ia melihat kilasan—pemandangan kota yang terbakar, langit merah darah, dan sosok raksasa bayangan berdiri di tengah kehancuran.

Dan di bawah kaki sosok itu… Odo berdiri. Tapi bukan Odo yang ia kenal.

Matanya kosong, tubuhnya dipenuhi simbol gelap. Dan ia… tertawa.

Ryan terjatuh, napasnya tersengal. "Gua… gua liat…"

Bhima memegang bahunya. "Tenang. Ceritain pelan-pelan."

Ryan gemetar. "Odo… dia… dia bakal ngancurin kita semua."

Sementara itu, di markas Dirgantara, Azura berdiri di depan layar besar yang memperlihatkan pembacaan energi dari Pelita Raya.

Altair ada di belakangnya, memeluk tangan. "Apa kau yakin mereka nggak akan curiga?"

Azura menyeringai. "Sudah terlambat. Kita udah tanam benihnya. Tinggal tunggu waktu sampai dia pecah. Dan saat itu terjadi…"

Ia menatap simbol kecil yang terpahat di sebuah logam—identik dengan yang muncul di leher Odo.

"…semua kekuatan Pelita bakal runtuh dari dalam."