Rahang Baja

Bab 8 – Rahang Baja

Langit Mentari kembali mendung, seolah tahu ada sesuatu yang mengendap di bawahnya. Di ruang pelatihan Pelita Raya, Armand berdiri di tengah ruangan, mengenakan armor pelat ringan dan sarung tangan besi miliknya—Rahang Baja. Senjatanya itu tidak sekadar simbol kekuatan, melainkan penanda reputasi: keras kepala, arogan, dan selalu menghantam lebih dulu sebelum berpikir.

Hari itu bukan sesi latihan biasa. Lawannya adalah Bhima.

"Bersiap," kata Bhima dengan datar, menggulung lengan bajunya perlahan.

Armand mengepalkan tinjunya. "Ini bukan soal latihan. Aku mau tahu… apa kau masih bisa menahan amarahmu setelah semua yang terjadi."

Bhima tidak menjawab. Ia melangkah ke depan, cepat dan tanpa ragu. Serangan pertama datang dari Armand, tinju logamnya meluncur horizontal ke arah rahang Bhima. Tapi Bhima memiringkan kepala, lalu menendang perut Armand.

Benturan. Keras.

Armand mundur tiga langkah, napasnya berat. Tapi matanya menyala. "Heh. Aku suka ini."

Bhima maju lagi, tak memberi jeda. Tinju Armand meluncur lagi, kali ini lurus ke depan, dan berhasil menyentuh pipi Bhima, meski tidak penuh. Bhima terpental sedikit, namun segera mengunci lengan Armand, melemparkannya ke matras keras di belakang.

"Bangun," kata Bhima, pendek.

Armand tertawa kecil, berdiri pelan. "Kau makin kuat. Tapi bukan itu yang pengin aku lihat."

Bhima menatapnya tajam.

"Aku tahu kau menyimpan sesuatu," lanjut Armand. "Sejak insiden Odo, sejak Elara makin tertutup, dan Amara terus menggigil tiap malam. Kau semua sembunyiin sesuatu dari kami. Dan aku muak."

Bhima mengepalkan tangan. "Ini bukan saatnya."

"Kalau bukan sekarang, kapan? Sampai Odo bunuh kita satu-satu?"

Bhima terdiam. Sejenak. Lalu berjalan ke arah pintu.

"Aku harap kau siap," kata Bhima. "Karena saat waktunya datang, tidak akan ada sesi latihan. Tidak akan ada 'Rahang Baja' atau 'Si Raja Tinju'. Yang ada hanya dua pilihan: bertahan… atau hilang."

Pintu tertutup. Armand menunduk, masih ngos-ngosan. Tapi dalam matanya, ada satu hal yang belum pernah muncul sebelumnya—keraguan.

Sementara itu, di atap sekolah, Solara berdiri menatap langit. Suara langkah pelan menghampiri dari belakang.

"Elara?" tanyanya.

Elara tidak menjawab langsung. Ia berdiri di samping Solara, lalu berkata pelan, "Bhima akan segera bicara dengan Pak Mattius. Tentang Odo. Tentang suara di kepalanya. Dan tentang apa yang ditemukan Rere di sistem SubRosa."

Solara menggigit bibirnya. "Jadi... sudah saatnya, ya?"

Elara mengangguk. "Kita tak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi."

Solara menatap cakrawala. "Kau pikir… kita masih bisa menyelamatkannya?"

Elara menoleh, dan untuk pertama kalinya—tak punya jawaban.