Tersisa Dalam Genggaman

Bab 9 – Tersisa Dalam Genggaman

Langkah Bhima terhenti di lorong paling atas bangunan Pelita Raya. Hanya ada derit angin yang mengalir lewat jendela pecah, dan cahaya lampu mati yang kedap-kedip. Jejak energi itu berhenti di sini—tempat Odo terakhir terlihat setelah kabur dari ruang isolasi.

"Lari ke tempat seterbuka ini, Odo… kau sengaja mancing aku?" gumamnya.

Dan benar saja.

Sosok Odo berdiri membelakangi Bhima, menatap langit malam. Wajahnya sulit ditebak dari sudut itu, tapi aura gelap di sekitarnya lebih pekat dari sebelumnya. Udara bergetar. Bangunan retak halus. Dan... suara samar yang bukan suara Odo menggema samar-samar.

"Aku nggak sengaja ke sini," kata Odo datar. "Kakiku yang membawa."

"Odo, aku nggak akan lawan kau," ucap Bhima hati-hati, langkahnya mendekat. "Tapi kau harus ikut aku. Kita bisa selesaikan ini."

Odo tak menjawab. Ia malah mendongak, lalu tersenyum aneh.

"Dia... mulai berbicara lebih sering. Sekarang dia minta sesuatu."

"Dia?" Bhima menggenggam pedangnya erat. "Suara itu lagi?"

"Dia bukan sekadar suara," bisik Odo. "Dia... hidup di dalam aku."

Tiba-tiba, hawa dingin menyeruak di antara mereka. Suara langkah bergema. Dari balik kabut muncul satu sosok—rambut biru panjang, tatapan tajam. Azura.

"Aku datang untuk mengambilnya kembali," ujarnya datar.

Bhima langsung memasang posisi bertahan. "Kau? Jadi benar ini ulahmu?"

Azura mengabaikan pertanyaan itu. Pandangannya hanya tertuju pada Odo.

"Kau makin kuat. Tapi masih belum siap untuk dilepas."

Odo memegangi kepalanya. "Diam... kalian semua diam..."

"Dia tak mengendalikanku, Bhima!" teriak Odo. "Tapi aku juga nggak bisa lawan dia!"

Azura mengangkat satu tangannya. Energi biru mengalir dari telapak ke arah Odo—tapi Odo memukul tanah, memantulkan gelombang kejut hingga Azura terlempar beberapa langkah.

"Kau pikir aku cuma boneka?" teriak Odo. Matanya kini berubah. Satu mata hitam, satu lagi biru menyala.

Bhima terkejut. "Odo… cukup! Kalau kau lawan dua arah sekaligus—Azura dan makhluk itu—kau bakal hancur!"

Tapi Odo sudah jatuh berlutut. Energi di sekitarnya mendidih.

"Aku lelah... aku nggak bisa bedain mana aku, mana dia. Aku takut suatu hari aku bangun... dan udah bukan aku lagi."

Bhima menatapnya, lalu melepaskan pedang ke lantai. Ia maju dan memegang bahu Odo.

"Kalau kau jatuh... aku yang bakal tarik kau kembali."

Namun, Azura berdiri kembali dan melangkah perlahan.

"Aku tanamkan kekuatan itu di dalam dirinya... sebagai percobaan," ujarnya tenang. "Tapi sekarang, dia menyerap terlalu banyak. Bahkan aku pun tidak bisa menariknya kembali sepenuhnya."

Bhima mendekap Odo lebih erat. "Kau main-main dengan manusia, Azura?"

"Dia bukan manusia biasa. Dia... pembawa jejak."

"Jejak apaan?"

Azura tak menjawab.

Odo memejamkan mata, tubuhnya bergetar.

"Kalau aku berubah... kalau aku kehilangan kendali... tolong, Bhima. Bunuh aku."

Dan sebelum Bhima sempat menjawab, Odo pingsan.