Bab 10 – Perburuan Dua Arah
Kabut belum benar-benar hilang sejak malam itu. Setelah Odo pingsan di pelukan Bhima, seluruh sistem keamanan Pelita Raya langsung diaktifkan kembali. Odo kini dikurung bukan di ruang bawah tanah biasa, tapi di zona tertutup yang dulunya hanya dipakai untuk menyegel energi senjata eksperimental.
Namun tekanan tak berhenti di sana.
"Dia masih belum bangun?" tanya Rere sambil menatap layar monitor. Tampilan Odo yang tertidur dikelilingi pelindung energi muncul di tengahnya.
"Fisiknya pulih cepat. Tapi kesadarannya…" Elara menghela napas. "Masih kosong. Kayak jiwanya lagi bertarung di dalam."
Rere mengangguk pelan, lalu bergumam, "Berarti kita harus siap… kalau dia bangun bukan sebagai dirinya lagi."
Di sisi lain sekolah, Bhima berdiri sendirian di ruang latihan. Tangannya memegang rekaman suara Odo terakhir sebelum pingsan. Kalimat itu berulang-ulang memutar di kepalanya:
"Kalau aku berubah... kalau aku kehilangan kendali... tolong, Bhima. Bunuh aku."
Bhima mencengkeram alat pemutar itu. Tidak peduli sekuat apa pun dia, permintaan itu menghantamnya dalam diam.
Sementara itu, di luar Pelita Raya—di batas kota Mentari—Azura berdiri bersama seseorang. Sosok tinggi bertudung yang wajahnya tersembunyi, tapi aura kekuatannya menggetarkan udara di sekitarnya.
"Dia mulai menguasai suara itu," ucap Azura.
"Bagus. Biarkan dia mendekati batasnya," jawab suara dalam tudung. "Begitu dia kehilangan kendali... semua mata akan tertuju padanya. Dan kita... tinggal memetik hasilnya."
Azura menoleh dengan tajam. "Tapi jika dia lepas kendali sepenuhnya, bukan cuma Pelita yang hancur. Kau tahu itu."
"Apa kau khawatir?"
Azura diam.
"Atau... kau mulai peduli pada bonekamu?"
Tak ada jawaban.
Malam itu, Odo terbangun.
Matanya terbuka perlahan. Satu mata hitam. Satu mata biru.
Dan kali ini, tak ada suara yang menyapanya.
Hanya senyuman samar di wajahnya
Langkah kaki Bhima terdengar berat saat ia berjalan di lorong menuju ruang isolasi baru. Dinding logam, kamera di setiap sudut, dan lapisan segel berlapis-lapis menjadi saksi betapa berharganya—atau betapa berbahayanya—sosok di dalam.
Sesampainya di depan pintu, Bhima tidak langsung masuk. Ia hanya berdiri, menatap pantulan wajahnya sendiri di permukaan logam pintu.
"Aku harus yakin," gumamnya lirih.
Pintu terbuka dengan suara mekanik. Di dalam, Odo duduk bersila di lantai, bukan lagi diikat. Ia tampak… tenang. Terlalu tenang.
"Odo," panggil Bhima hati-hati.
Odo menoleh, dan untuk sesaat, mata itu kembali normal.
"Bhima," sahutnya pelan. "Aku sadar."
Bhima menatapnya tajam. "Yang bicara ini kamu atau 'dia'?"
Odo tersenyum. "Masih aku. Tapi dia… selalu dengar."
Bhima menarik kursi dan duduk di seberang. "Kau harus bantu kami pahami apa yang terjadi. Kalau enggak, kita akan terus terjebak."
Odo menunduk. "Aku gak tau semua jawabannya. Tapi aku tahu dia bukan sekadar suara. Dia... bagian dari diriku sekarang."
"Dan dia berasal dari Azura?"
Diam.
"Jawab, Odo."
Odo mengangkat kepalanya. Matanya berkilat sebentar, lalu kembali normal. "Azura mungkin pintunya. Tapi bukan dia yang bicara."
Di markas Dirgantara, Azura tengah menatap dinding kaca ruangannya. Altair masuk membawa laporan.
"Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu, Azura," kata Altair tanpa basa-basi.
Azura tidak menoleh. "Kalau kau tahu, kenapa kau bertanya?"
Altair meletakkan laporan di meja. "Karena aku masih percaya padamu. Tapi kalau kau mainkan kami, aku sendiri yang akan menghentikanmu."
"Kalau kau bisa," bisik Azura.
Kembali ke Pelita Raya, Rere dan Elara menemukan sesuatu dalam data gelombang energi Odo. Pola-pola yang sebelumnya dianggap acak kini membentuk semacam... simbol. Bukan simbol digital biasa—lebih seperti simbol... Organisasi.
"Ini bukan cuma pengaruh energi," ujar Elara pelan. "Ini lebih seperti… kepribadian."
Rere menatap layar dengan ekspresi tak percaya. "Kepribadian siapa?"
Elara menjawab, "Mungkin jiwa salah satu eksperimen yang seharusnya sudah mati."
Malam itu, Odo kembali bermimpi.
Ia berjalan dalam kegelapan. Langkah-langkahnya terasa ringan, hampir melayang. Di kejauhan, sosok berjubah duduk di atas takhta—bukan dari emas, tapi dari bayangan yang bergerak pelan.
"Akhirnya kau datang," kata sosok itu.
"Apa kau… dia?" tanya Odo.
"Aku adalah bagian dari dirimu yang paling murni—yang selalu kau tolak. Kau tidak dipilih, Odo. Kau diciptakan."
Odo menunduk. "Kenapa aku?"
"Karena kau sempurna untuk hancur."
Dan saat itu juga, Odo terbangun, nafasnya terengah, keringat dingin membasahi dahinya. Suara itu tak terdengar, tapi bayangannya membekas. Ia tahu—ia sedang dikejar waktu.
Entah untuk mengalahkan suara itu… atau tenggelam bersamanya.