Bab 11 – Di Balik Segel
Mentari pagi bersinar sayu, seolah enggan menyentuh Pelita Raya yang mulai terasa muram. Sejak kejadian malam itu, suasana sekolah berubah drastis. Semua orang berjalan lebih cepat, bicara lebih pelan, dan menatap Odo seolah ia bukan lagi bagian dari mereka.
Tapi pagi ini berbeda.
Pintu segel terbuka. Tak ada alarm. Tak ada suara. Hanya jejak langkah pelan yang menuju ke luar—Odo, dengan mata tertunduk, melangkah keluar dari ruang isolasi. Tak ada yang menjemputnya. Seolah mereka tahu... tidak ada yang bisa mencegahnya jika ia memilih jalan yang salah.
Di ruang OSIS, Bhima berdiri bersama Elara, Rere, dan Armand. Wajah mereka tegang, terutama Bhima yang sejak semalam tak tidur.
"Segelnya terbuka," lapor Elara, datar. "Dan dia keluar… sendiri."
"Dia masih Odo?" tanya Armand.
Rere menjawab pelan, "Untuk sekarang… iya."
Bhima langsung menuju ke koridor utama. Tubuhnya terasa berat, seolah setiap langkah mendekatkannya pada kehancuran.
Di luar, Odo berdiri menatap langit.
"Dia sedang menunggu," gumamnya. "Dan aku… mulai mengerti kenapa."
Langkah Bhima mendekat dari belakang. "Kalau kau paham, jelaskan."
Odo menoleh, matanya jernih. Tapi tak ada senyum. "Dia tidak ingin aku dikendalikan. Dia ingin aku menerima. Karena begitu aku terima… aku akan jadi sempurna."
Bhima mengepalkan tangan. "Sempurna bukan berarti hilang kendali."
"Bukan kendali yang dia tawarkan. Tapi… kekebalan dari rasa takut."
Di sisi lain kota, di markas Dirgantara, rapat darurat digelar.
Raka berdiri di tengah ruangan bersama Alina dan Jevan. Di belakang, Altair berdiri menyamping dari Azura.
"Kalau kalian tetap menyembunyikan informasi, maka ini bukan kerja sama lagi—ini pengkhianatan," tegas Alina.
Azura hanya memutar bola mata. "Kalian bereaksi seolah-olah Odo itu masalah utama."
"Dia adalah masalah utama," potong Raka. "Dan satu-satunya orang yang bisa menghentikannya… sedang berdiri diam di ruangan ini."
Altair melirik Azura. "Apa kau siap menghadapinya?"
Azura tersenyum miring. "Mungkin aku justru menunggunya."
Sementara itu, Rere dan Elara kembali ke laboratorium. Data yang mereka kumpulkan dari pola energi Odo semakin menggila. Simbol-simbol baru muncul—bukan hanya satu entitas.
"Mungkin… suara itu bukan satu jiwa," bisik Elara. "Mungkin itu… semacam fragmen kolektif."
"Jadi Odo bukan dihantui satu makhluk. Dia dihuni banyak?"
"Lebih dari itu. Dia mungkin diciptakan untuk menjadi wadah."
Di lapangan kosong, Odo berdiri seorang diri. Angin berhembus, membawa bisikan yang tidak berasal dari dunia ini.
"Langitnya terlalu sempit untuk kita semua, Odo," bisik suara itu. "Tapi jika kau mengizinkan... kita bisa jadi satu. Dan tak akan ada yang bisa menyakitimu lagi."
Odo menutup matanya. Detik berikutnya, tubuhnya mulai bergetar. Udara di sekitarnya beriak. Suhu turun.
Bhima muncul. "Odo!"
Namun ketika Odo menoleh, matanya sudah berubah—dua warna bersinar bersamaan.
"Satu kali lagi," katanya. "Uji aku. Kalau kau masih percaya… lawan aku."
Bhima mengangkat tangan, membentuk postur bertarung. "Kalau ini satu-satunya cara buat nyelametinmu… aku gak akan ragu."
Dan mereka pun maju.
Bukan untuk bertarung sebagai musuh.
Tapi untuk mempertaruhkan masa depan… satu pukulan dalam satu pertaruhan.