Pecahnya Simetri

Bab 14 – Pecahnya Simetri

Langit kota Mentari gelap, meski belum malam. Awan hitam bergulung, seolah merespons energi liar yang memancar dari satu titik di lapangan Pelita Raya.

Odo berdiri di tengahnya, tubuhnya dilingkupi aura bercahaya yang retak seperti kaca. Suaranya menggema ganda, tak lagi manusiawi.

“Tak ada lagi jalan pulang…”

SubRosa v2 berdiri membentuk formasi. Bhima di depan, Solara dan Armand menyebar ke sisi. Amara berdiri lebih jauh di belakang, tangan gemetar.

“Odo… tolong, jangan kayak gini,” seru Amara dengan suara lirih.

Tapi Odo tak merespons. Ia memejamkan mata, dan dunia pun berubah.

Ledakan energi meledak dari tubuhnya, memecah permukaan tanah. Cahaya gelap membumbung, menekan segalanya di sekitarnya. Udara bergetar, penuh tekanan.

Bhima maju duluan, menangkis gelombang serangan Odo dengan dinding energi. “Kita gak punya banyak waktu! Dia bakal meledak dari dalam kalau kita gak hentikan!”

Solara langsung menyiapkan serangan jarak jauh, mengarahkan busur cahayanya ke langit. “Cover aku! Aku butuh waktu!”

Armand melompat ke sisi kiri Odo, melemparkan dua cakram energi yang menyambar cepat—tapi Odo bahkan tak bergerak. Sebuah perisai hitam muncul otomatis, menelan serangan itu.

“Dia nggak sadar kita di sini,” gumam Bhima. “Dia… melawan sesuatu yang gak kita lihat.”

Tiba-tiba, Odo berteriak. Suara-suara bergaung dari dalam tubuhnya. Bukan hanya satu… tapi banyak.

“Jiwa-jiwa yang belum selesai… biar aku yang lanjutkan…”

Odo mengangkat tangannya. Langit terbelah.

Kilatan petir hitam menyambar turun, membakar pohon-pohon sekitar dan menciptakan kawah. Elara yang baru tiba, langsung berteriak, “Dia mulai menyatu dengan kolektif itu! Kalau dia berhasil—selesai sudah semuanya!”

Bhima berlari maju. “Solara, siapin tembakan pengunci!”

Solara mengangguk. “Tinggal sedikit lagi—tahanin dia!”

Amara memejamkan mata, berbisik, “Maaf, Odo….”

Odo menoleh seketika. Untuk sepersekian detik, wajahnya kembali seperti semula. “Ma—ra…?”

Tapi lalu, jeritan memekakkan telinga meledak dari tubuhnya. Aura hitam mencuat seperti sayap patah, dan matanya bersinar ungu pekat. Ia meluncur ke arah Bhima.

Dua tinju bertabrakan.

Dunia berhenti.

Tanah terangkat, langit berkedip, dan udara terbelah. Tubuh Bhima terpental, darah mengalir dari pelipisnya. Tapi dia tetap berdiri.

“Sekarang, Solara!!”

Tombak cahaya meluncur, menembus pertahanan Odo, menusuk pusat jiwanya.

Tubuh Odo terpaku, membeku di udara, lalu jatuh.

Tapi belum mati.

Nafasnya tersengal. “Kenapa… kalian… tidak membiarkanku… pergi…”

Bhima berjalan perlahan. “Karena lo sahabat kita. Dan sahabat itu… gak akan dibiarkan lenyap sendirian.”

Langit kembali terang sedikit. Tapi tidak ada yang merasa tenang.

Karena mereka tahu…

Ini belum berakhir.