Saat Langit Retak

Bab 15 – Saat Langit Retak

Langit Mentari berubah warna. Awan seolah melarikan diri dari pusat kota, menciptakan kekosongan yang membuat matahari seperti membakar langsung bumi. Di tengahnya, Odo berdiri—atau lebih tepatnya, sesuatu yang menyerupai Odo.

Tubuhnya tak lagi sepenuhnya manusia. Aura hitam keunguan membentuk pola seperti retakan di udara. Suara-suara aneh menggema dari dalam dirinya, mengacaukan kestabilan mental siapa pun yang terlalu lama memandang.

Bhima berdiri di depan barisan SubRosa v2: Elara, Solara, Rere, Armand, dan Amara. Tak ada yang bicara. Mereka semua tahu... ini mungkin pertempuran terakhir melawan Odo.

“Dia bukan Odo lagi,” gumam Elara.

“Tapi sebagian dirinya mungkin masih bisa dengar kita,” sahut Solara, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Rere mengangkat tangan. “Kita formasi biasa. Tapi ingat, prioritas utama—tahan dia. Jangan bunuh.”

Bhima menunduk sedikit. Ia tak setuju.

Pertarungan pun pecah.

Armand dan Solara maju pertama, mencoba menahan serangan frontal Odo yang kini bisa memanipulasi udara dan gravitasi di sekitarnya. Serangannya bukan lagi serangan manusia—dia memelintir kenyataan seperti mimpi buruk.

Amara berusaha masuk lewat ranah spiritual, menyusup ke dalam kesadaran Odo. Tapi yang ia temui di sana hanyalah kegelapan tanpa ujung.

“Aku… aku gak bisa tembus! Dia… kosong!” jeritnya panik.

Elara dan Rere mendukung dari belakang, menembakkan segel dan pengunci jiwa yang sebelumnya mereka siapkan diam-diam. Tapi tak satu pun bekerja.

Dan kemudian… Odo berbicara.

Suara itu bukan miliknya. Tapi juga bukan suara makhluk asing.

“Aku… kita… bukan siapa-siapa lagi,” desisnya. “Kami adalah akhir dari kalian semua.”

Tubuh Odo membesar sesaat, lalu menyusut kembali—seperti diremuk oleh kekuatan di dalam dirinya sendiri. Retakan makin jelas.

Bhima akhirnya maju.

Dia tak lagi berkata-kata. Ia langsung menyerang. Tinju, pukulan energi, serangan penuh emosi. Tapi yang menyambutnya bukan perlawanan… melainkan tatapan kosong dari Odo.

Dan kemudian… Odo meledak. Bukan dalam artian fisik—melainkan energinya melonjak tajam, menciptakan shockwave yang melempar semua anggota SubRosa v2 hingga puluhan meter.

Amara pingsan. Armand berdarah. Solara terdiam. Elara dan Rere berpegangan tangan agar tetap sadar.

Dan Bhima masih berdiri… nyaris tak bernyawa.

Namun satu hal membuat semuanya menegang.

Odo berjalan ke arah mereka. Perlahan. Tapi pasti.

Langkah demi langkah seperti mimpi buruk yang tak bisa dihentikan.

Rere berbisik, hampir tak terdengar, “Bhima… kalau kau gak bertindak… kita semua mati…”

Bhima membuka mata—penuh luka, tapi juga penuh keputusan.

“Maaf, Odo…” gumamnya.

Bhima menarik senjatanya yang tersembunyi—bukan sembarang senjata. Itu adalah seal blade, dibuat untuk menghapus eksistensi energi tak stabil.

Dan dia berlari.

Satu tebasan.

Lalu diam.

Odo berhenti.

Tersenyum samar.

Lalu tubuhnya hancur perlahan… menjadi cahaya yang menghilang ke udara.

Solara berteriak. Amara menangis. Armand tak berkata apa-apa. Rere menunduk. Elara menatap langit yang kini jernih.

Dan Bhima hanya berdiri… menatap kosong ke arah tempat temannya menghilang.