Pecahan yang Tersisa

Bab 16 – Pecahan yang Tersisa

Mentari tak lagi terasa sama.

Sudah tiga hari sejak insiden itu. Tiga hari sejak Odo… hilang.

SubRosa v2 bubar sementara. Tak ada rapat. Tak ada misi. Tak ada interaksi.

Semua kembali ke rutinitas masing-masing, mencoba menelan kenyataan yang masih terasa absurd.

Bhima duduk di atap Pelita Raya. Angin sore mengacak rambutnya yang belum sempat dipotong. Tatapannya kosong, namun wajahnya tak menunjukkan kesedihan. Justru… kebingungan.

“Gue ngebunuh Odo…” gumamnya.

Kalimat itu mengulang sendiri di kepalanya. Setiap malam. Setiap kali ia menutup mata.

Solara menghampirinya, membawa dua botol minuman dingin dan wajah yang tak lebih baik.

“Kukira lo bakal kabur ke hutan atau apalah,” candanya setengah hati.

Bhima menjawab dengan anggukan kecil. “Gue gak tahu ini benar atau salah.”

Solara duduk di sebelahnya. “Gue juga gak tahu… Tapi kalau kita gak lakukan itu, sekarang mungkin kota ini udah rata.”

Bhima memejamkan mata. “Gue cuma… berharap kita bisa nyelamatin dia.”

Solara diam, lalu menyodorkan botol. “Minum. Lo gak bisa nyelamatin siapa pun kalau lo nyiksa diri sendiri.”

Sementara itu, di ruang OSIS bawah tanah, Rere dan Elara duduk berhadapan. Di antara mereka, berkas-berkas dan dokumen tentang fenomena “Distorsi Jiwa”—hal yang menyebabkan Odo kehilangan kendali.

“Dua dari berkas ini dibakar. Seseorang gak mau kita tahu lebih jauh,” kata Elara dingin.

Rere mengangguk. “Pasti ada yang lebih besar dari ini. Odo bukan satu-satunya yang rentan… dan gue rasa, bukan yang pertama.”

Mereka menatap layar hologram di meja, memperlihatkan jejak-jejak energi yang tersisa dari Odo. Ada satu hal yang aneh—pola retakan itu... masih aktif, meski Odo sudah hilang.

Dan jauh di tempat lain, di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh simbol bercahaya di lantai...

Sekelompok manusia bertopeng berdiri melingkar. Salah satu dari mereka menatap rekaman pertarungan Odo dan Bhima dengan saksama.

“SubRosa v2 berhasil menyingkirkannya.”

“Bagus,” kata salah satu dari mereka. “Saatnya proyek Pantulan Jiwa dijalankan.”

Yang lain menambahkan, “Tapi jangan perlihatkan dulu. Biar mereka pikir semuanya sudah selesai.”

Lalu layar mati. Sunyi. Gelap.

Dan di Pelita Raya, Bhima menatap matahari yang akan tenggelam.

Tapi kali ini, dia tak merasa hangat.