Retakan yang Tak Terlihat

Bab 17 – Retakan yang Tak Terlihat

Langit Mentari mendung, seakan kota itu sedang berkabung. Tapi tidak semua orang bisa diam.

Di bawah permukaan Pelita Raya, tempat SubRosa dulu dilatih, Elara berdiri sendiri di hadapan proyeksi hologram Odo. Sosok itu berkedip—terdistorsi. Namun tatapan matanya terekam utuh: percaya. Bukan pada dirinya, tapi pada teman-temannya.

"Kalau aku gagal..." rekaman suara Odo berbicara, "...setidaknya kalian tahu, aku pernah melawan."

Elara mematikan proyeksinya. Ia menatap gelap di sekitarnya.

"Dan kami akan terus melawan..."

Di tempat lain, Bhima, Solara, Rere, Amara, dan Armand berkumpul kembali di ruang strategi bawah tanah. SubRosa v2 dikabarkan telah dibubarkan, tapi mereka tahu: perang belum selesai.

"Aku nemu ini," ucap Amara, menaruh sebuah pecahan kristal kecil di meja.

"Ini bagian dari... entitas yang menguasai Odo," jelas Solara, memeriksa retakan energi di permukaannya. "Tapi dia gak sepenuhnya hilang."

Bhima menoleh cepat. "Maksudmu...?"

"Ada sesuatu yang tertinggal. Mungkin bukan dia, tapi sisa jiwanya."

Amara melanjutkan, "Atau mungkin... seseorang pengen kita mikir begitu."

Sementara itu, dari balik kamera yang tersembunyi di ventilasi ruangan, mata mengintai mereka. Seseorang sedang mencatat. Mengamati.

Dan di markas Dirgantara, Raka menerima pesan terenkripsi dari Pak Mattius.

“Pertemuan di titik merah. Mereka mulai bergerak.”

Raka menghela napas. "Jadi ini belum selesai..."

Kalista yang duduk di sampingnya langsung berdiri. “Berarti kita harus kembali ke Pelita Raya?”

Raka menatap jendela. “Bukan ke Pelita Raya. Ke tempat semuanya dimulai.”

Di ruang gelap, salah satu manusia bertopeng menyalakan layar lagi. Di dalamnya, blueprint proyek Pantulan Jiwa terpampang dengan gambar wajah... Odo.

Namun kali ini, senyum di wajah itu tak menyisakan harapan.