Bab 18 – Retakan yang Tersisa
Hujan turun deras di atas kota Mentari, mengguyur bangunan Pelita Raya yang mulai terlihat rapuh, bukan karena struktur… tapi karena jiwa-jiwa di dalamnya yang mulai kehilangan arah.
Bhima berdiri di tengah ruang SubRosa v2. Lengannya dibebat perban, dan matanya tak henti menatap layar—memutar ulang cuplikan pertarungan mereka melawan Odo. Sorot matanya tajam, penuh amarah, tapi juga kehilangan.
Amara duduk di ujung ruangan. Tak ada suara darinya sejak hari itu.
Solara berdiri di dekat pintu, menggenggam liontin pemberian Odo. Ia belum bisa membuangnya.
"Apa ini sudah benar?" tanya Armand lirih.
Tak ada yang menjawab.
Hanya Bhima yang akhirnya bicara. "Kalau ini benar… kenapa rasanya seperti kita baru saja kehilangan dunia?"
Di sisi lain kota, Dirgantara pun tak luput dari dampak. Altair berdiri di atap sekolah, memandangi kabut yang menyelimuti langit. Azura muncul di sampingnya, diam-diam.
"Dia mati?" bisik Altair.
Azura hanya menjawab dengan satu anggukan.
"Dan kau merasa lega?" lanjut Altair.
Azura menatap kosong. "Tidak. Aku merasa… kosong."
Jevan di ruang bawah tanah menemukan sesuatu yang mencurigakan—sebuah sinyal energi dari tempat mereka bertarung. Tapi ia menyimpannya sendiri. Masih terlalu cepat untuk bicara soal itu.
Hari-hari berlalu. Pelita Raya hampa. SubRosa v2 bubar untuk sementara. Masing-masing membawa luka sendiri.
Elara memilih menghilang dari keramaian, menyelidiki peninggalan yang Odo tinggalkan dalam sistem SubRosa. Ia menemukan catatan suara, terpotong di tengah kalimat:
"Kalau aku tidak kembali, artinya aku… sudah menjadi sesuatu yang kalian tak bisa selamatkan."
"Tapi jangan hancurkan tempat ini. SubRosa bukan hanya soal kekuatan… tapi soal kepercayaan."
Satu bulan setelah kematian Odo, suasana tampak tenang. Tapi langit Mentari belum benar-benar kembali cerah.
Rere berdiri di lapangan utama, memandangi bendera Pelita Raya yang berkibar setengah tiang. Di belakangnya, Bhima berjalan mendekat.
"Sudah waktunya kita lanjut, kan?" ujar Rere.
Bhima mengangguk. "Tapi tidak dengan cara lama. Odo sudah bayar terlalu mahal. Kita harus ubah semua ini."
"Dan kalau mereka datang lagi?"
Bhima menatap cakrawala. "Biar mereka datang. Kita gak akan mundur."
Di kejauhan, sebuah bayangan muncul di balik kabut.
Tapi tak seorang pun menyadari.
Belum.