Satu yang Tersisa

Bab 19 – Satu yang Tersisa

Langit Kota Mentari berubah warna—bukan karena senja, tapi karena sesuatu yang jauh lebih gelap menjalar dari cakrawala. Asap, debu, dan energi yang tak kasat mata menggulung masuk, membungkus langit dalam warna merah kusam.

Di markas Pelita Raya, suasana tegang menggantung. Bhima berdiri menatap layar utama, menunjukkan titik-titik energi yang tak stabil, membentuk pola spiral yang menjurus ke satu pusat—lokasi terakhir Odo sebelum kehilangan kendali.

"Dia belum sepenuhnya hilang," ucap Elara datar. "Masih ada fluktuasi emosi… artinya, dia masih berjuang di dalam."

"Atau itu hanya sisa dari jiwanya," sahut Armand dengan nada getir. "Kita udah lihat sendiri, El. Dia bukan Odo yang kita kenal."

Solara menunduk, menggenggam lengan Amara yang terus menahan tangis. Rere berdiri diam di sudut, matanya kosong. Luka karena kehilangan seseorang yang menjadi inti dari kelompok mereka—terlalu dalam untuk diucapkan.

Bhima memukul meja.

"Aku gak mau dia mati sia-sia."

Elara menatap Bhima tajam. "Kita nggak punya pilihan. Kalau dia jadi titik pusat kehancuran, kita… harus menghancurkan pusat itu."

Sementara itu, di reruntuhan tempat Odo terakhir terlihat, suasana sunyi seperti kuburan. Tanah terbelah, puing-puing melayang di udara, ditahan oleh gravitasi liar dari kekuatan tak terkendali.

SubRosa v2 sudah berkumpul: Bhima, Elara, Rere, Armand, dan Solara.

"Kita masuk dari tiga arah," perintah Bhima. "Kalau dia muncul—kita hentikan dia. Dengan cara apapun."

Solara menarik napas panjang. "Jangan salahkan aku kalau aku nggak bisa nahan diri."

Tak ada yang menjawab. Karena semua tahu… tidak akan ada yang bisa menahan diri ketika menghadapi sesuatu yang bukan lagi Odo.

Di tengah pusaran energi, sebuah sosok berdiri.

Rambutnya melambai ke atas karena tekanan energi. Tubuhnya dipenuhi garis-garis merah menyala, dan matanya… tak lagi menampilkan dua warna. Hanya satu—hitam, pekat, seperti lubang tak berdasar.

Ia menatap ke langit.

"Kenapa… kalian tak membiarkanku… menjadi akhir dari segalanya?"

Dan ketika langkah SubRosa memasuki zona itu—ia berbalik.

Dan pertempuran pun dimulai.

Pertarungan itu bukan pertarungan biasa.

Itu adalah perang melawan bayangan masa lalu, melawan rasa bersalah, melawan kemungkinan bahwa mereka akan membunuh sahabat mereka sendiri.

Elara mengaktifkan segel.

Bhima menyerang dari depan, meluncur seperti meteor.

Solara menciptakan kubah cahaya untuk menjinakkan medan.

Tapi setiap kali mereka mendekat—Odo mendorong mereka mundur dengan energi yang tidak berasal dari dunia ini. Jeritannya menggema, suara yang bukan hanya milik satu orang. Tapi banyak. Terlalu banyak.

"AKU ADALAH KITA."

"AKU ADALAH KEMATIAN YANG KALIAN CIPTAKAN."

Bhima terhempas. Rere berteriak, memanggil namanya. Armand mencoba mendekat tapi dihentikan Solara. Elara mencoba segel terakhirnya, tapi bahkan itu pun mulai retak.

Dan pada akhirnya, satu-satunya yang masih berdiri… hanyalah Bhima.

Lemah, luka, tapi berdiri.

"Odo…" ucapnya. "Kalau lo masih ada di dalam sana… satu kedipan aja. Satu… isyarat aja. Biar gue tahu gue gak salah."

Sosok Odo berhenti.

Tubuhnya berguncang.

Satu tetes air jatuh dari matanya.

Dan ia berteriak—bukan dalam kemarahan, tapi dalam kesakitan.

Saat itulah Bhima melompat.

Bukan untuk menghancurkannya. Tapi untuk memeluknya.

Energi itu meledak—tapi tidak menghancurkan.

Menghapus segalanya.

Termasuk mereka berdua.

Saat debu mereda, hanya satu jejak yang tersisa.

Jejak kaki yang mengarah pergi.

Tapi siapa yang meninggalkan jejak itu…

…tidak ada yang tahu.