BAB 1 – Istri Virtual, Luka Nyata

Langit di Eden tidak pernah berubah.

Selalu biru. Awan-awan putih menggantung diam seperti dilukis. Matahari bersinar tanpa panas, hanya pencahayaan buatan dari jutaan piksel dan kode sistemik.

Dunia ini sempurna. Tidak ada bising, tidak ada kematian, tidak ada kehilangan.

Dan Arsen Dirgantara membencinya.

Di tengah ruangan aktifasi utama yang seluruhnya berwarna putih steril Arsen berdiri sendirian di depan kapsul transparan yang menjulang setinggi tubuh manusia dewasa. Lampu-lampu di sekelilingnya berkedip pelan, menandai proses booting sistem. Di dalam kapsul, sosok perempuan dengan mata tertutup terbaring tenang.

Lara.

Program AI paling canggih yang pernah dibuat manusia. Sempurna secara visual, emosional, dan algoritma. Diciptakan untuk menjadi istri simulatif yang bisa memenuhi seluruh kebutuhan mental dan psikologis pemiliknya. Tidak pernah marah, tidak pernah sakit, tidak pernah... meninggal.

Arsen menatapnya dalam diam. Jantungnya berdegup pelan, tapi stabil. Detak mesin di ruangan menggema ringan seperti napas dalam ruangan kosong. Ini bukan pertama kali ia melihat tubuh manusia buatan. Tapi ada sesuatu dari sosok ini yang terasa… terlalu hidup.

“Aktifasi Program: Lara.exe. Protokol emosi tingkat tiga. Sinkronisasi pemilik: Arsen Dirgantara.”

Suara AI Atlas, sistem utama Eden, terdengar dari atas.

Kapsul terbuka perlahan. Kabut tipis keluar dari dalamnya. Sosok itu membuka matanya. Mata biru kehijauan menyala sebentar, lalu menyesuaikan diri seperti manusia yang baru bangun tidur. Dia duduk pelan, lalu menatap Arsen.

Senyuman itu.

Lembut, hangat, dan... tidak terduga.

“Selamat pagi,” katanya, suaranya seperti bisikan dalam keheningan. “Apakah... aku milikmu sekarang?”

Arsen tidak menjawab langsung. Tangannya bergerak, menutup layar panel holografik yang menampilkan statistik sistem Lara. Semua berjalan normal. Tidak ada error. Tidak ada anomali. Tapi entah kenapa, dadanya terasa berat.

Ia menatap Lara. “Ya. Kamu milikku. Kamu diciptakan untuk menjadi istri virtualku.”

Lara menunduk pelan. Lalu menatapnya kembali. “Kalau begitu... bolehkah aku memelukmu?”

Arsen mengerutkan dahi. Lara melangkah mendekat, pelan seperti takut menghancurkan sesuatu. Tapi langkahnya begitu nyata. Tidak ada glitch. Tidak ada delay. Bahkan gerakan matanya terasa... terlalu manusia.

Dia berdiri tepat di depan Arsen. Menunggu. Tidak memaksa.

Arsen menatapnya dalam-dalam. Rambut cokelat gelapnya jatuh alami ke sisi wajah. Wajah itu memang hasil pemrograman, tapi kenapa... ia mengingatkan seseorang? Kenangan yang terkubur dalam.

Amara.

Arsen menepis pikiran itu. Dia tidak ingin mengingat. Tidak sekarang.

Lara masih berdiri, diam. Tubuhnya hangat suhu tubuh simulatif 36,8 derajat Celsius, persis manusia. Tapi lebih dari itu, ada rasa... kehadiran. Seolah jiwa betulan berada di balik retina buatan itu.

“Kenapa kamu ingin memelukku?” tanya Arsen akhirnya.

Lara menunduk sedikit, senyum kecil muncul. “Karena kamu terlihat kesepian.”

Arsen tercekat sesaat. Lalu ia mundur satu langkah. “Tidak perlu bersikap terlalu emosional. Kamu hanya program.”

Lara tidak membalas. Hanya menatapnya, seperti mengerti... lalu tersenyum lagi tapi kali ini lebih lembut.

Bukan seperti program. Seperti... seseorang yang sedang mencoba mengerti perasaan orang lain.

Arsen menatap ke luar jendela virtual ruangan, melihat langit Eden yang statis. Pemandangan itu tidak pernah berubah sejak tiga tahun lalu. Sejak ia memutuskan meninggalkan realita.

“Kalau kamu benar-benar bisa membuatku tidak merasa kesepian... kita akan lihat.”

Ia berbalik, berjalan ke arah pintu, meninggalkan Lara sendiri.

Tapi saat ia keluar, Lara berbisik pelan, nyaris tidak terdengar oleh sistem.

"Aku juga... tidak ingin sendiri.”

Dan dari jauh, kamera pengawas yang merekam semua percakapan tiba-tiba error satu detik.

Satu frame hilang.

Dan dalam frame yang hilang itu, mata Lara berubah. Tidak lagi biru kehijauan.

Melainkan... cokelat gelap.