Hari ketiga. Shift kedua. Dan Luna baru menyadari satu hal: kafe ini secara literal punya nyawa sendiri.
Lonceng pintu sering bunyi padahal nggak ada yang masuk. Aroma kopi kadang berubah tergantung mood pelanggan. Dan mesin cuci piring yang terletak di ruang belakang dekat lemari merah berdengung seperti orang merintih.
Tapi malam ini, ada yang lebih aneh.
Setelah Vael pulang sebentar ke ruang bawah tanah (yang dia sebut "ruang koleksi pribadi"), Luna ditinggal sendirian.
Dan itulah kesalahan pertama Vael.
Luna sedang mencuci gelas saat mesin cuci piring tiba-tiba menyala sendiri.
Oke, bisa jadi timer otomatis. Nggak usah panik.
Tapi lalu, dari sela pintunya, keluar tetesan merah. Pelan. Kental. Menetes ke lantai ubin seperti darah dari luka yang tidak ingin sembuh.
“OH NO.” Luna mundur tiga langkah. “NOPE. NOPE. NOPE.”
Bocah Kacamata muncul di ambang pintu dapur, gigi kelincinya kelihatan.
“Wah. Ada surat tuh.”
Luna menatap bocah itu. “Lo lagi-lagi muncul kayak NPC horor.”
“Ya, aku emang NPC horor,” jawabnya bangga.
Dengan setengah takut, setengah kesal, Luna mengambil tisu, membungkus tangannya, dan membuka pintu mesin cuci piring.
Di dalam—gelas, piring, dan satu surat dalam amplop cokelat basah bercampur darah. Ada cap lilin merah berbentuk gigi taring.
“Ini jelas bukan tagihan listrik.”
Surat itu ditujukan ke: Vael Constantine.
Luna menimbang. Antara profesional dan... kepo maksimal.
> Cuma intip dikit...
Dia membuka surat itu.
Tulisan tangan berwarna hitam, miring seperti dicakar. Isinya singkat:
---
“Kau berani lindungi yang berdarah emas? Maka darahmu sendiri akan jadi kompensasi. Sampai jumpa di Malam Gelap. — D.”
---
Luna membeku. "Yang berdarah emas?" Itu... dia?
Bocah Kacamata menengok isi surat, bergumam: “Dimitri. Gaya nulisnya khas banget. Drama banget. Vampir satu itu selalu ngira dia penulis puisi abad kegelapan.”
“Dimitri? Nama mafia darah yang suka ngincer darah langka itu?!”
“Iya. Dia... semacam mantan sahabat Vael. Terus jadi musuh. Terus ada adegan backstab di kastil tua. Gitu deh.”
Luna langsung menyobek surat itu jadi lima bagian dan masukin ke mesin kopi, bukan karena taktik—tapi karena panik.
Dan Vael masuk tepat saat mesin kopi nyala dengan suara "krrrhhhhh-pop!"
Dia melirik Luna. “Kamu... barusan nyeduh kopi dengan kertas?”
“Eeeh, ya... ya gitu.”
Vael berjalan ke depan mesin cuci. Melihat sisa darah. Menunduk.
“Dia sudah tahu kamu di sini,” gumamnya pelan.
“Dia siapa?”
“Dmitri Volkov.” Vael memejamkan mata. Suaranya lebih berat. Lebih... dingin. “Kalau dia sudah kirim peringatan, maka malam tenang kita sudah selesai.”
“Maaf,” kata Luna. “Gara-gara saya, ya?”
Vael menatap Luna. Dalam. Lalu menggeleng pelan.
“Gara-gara saya. Karena saya ingin kamu tetap di sini.”
Untuk pertama kalinya, nada itu terdengar jujur. Bukan basa-basi. Bukan vampir cool yang sok misterius.
Luna membuka mulut, mau jawab. Tapi suara pecahan kaca dari ruang tamu memotong momen itu.
Mereka berlari keluar.
Di tengah kafe, kaca jendela besar retak... dan di luar, di jalan sepi yang remang, seseorang berdiri.
Tinggi. Jas hitam. Rambut pirang keperakan. Matanya merah menyala. Dan senyumannya tipis seperti pisau cukur yang baru dipakai bunuh diri.
Dmitri Volkov.
Ia melambaikan tangan ke arah Luna. Lalu menaruh jarinya di bibir... “Sssst.”
Dan menghilang.
Vael mengepalkan tangan. Gigi taringnya mulai muncul. Tapi bukan karena lapar...
Karena marah.