CHAPTER 3: SHIFT PERTAMA & BAYANGAN DI LANGIT-LANGIT KAFE

Orion makin dingin malam itu. Hujan belum turun, tapi udara membawa aroma tanah basah dan bunga kamboja yang terlalu dini mekar. Luna berdiri di depan pintu Nocturne, tangannya menggenggam botol kecil bekas parfum yang sekarang berisi sisa jamu Nenek Laras. Sudah disaring dan dikasih label: “Semprotan Anti Vampir – Harum Getir.”

> Kalau ini semua prank... gua lapor ke KPI. Tapi kalau bukan? Gua harus siap digigit.

Lonceng berdenting saat ia masuk. Di dalam, suasana lebih hidup dari kemarin. Beberapa meja terisi. Pengunjungnya... aneh. Terlalu tenang. Terlalu elegan. Seperti cast film noir yang lupa ganti baju sejak 1950.

Vael berdiri di balik bar, seperti kemarin. Tapi malam ini... dia mengenakan apron hitam bordir emas, dan kemeja putih dengan kerah tinggi. Terlalu rapi untuk cuma bikin kopi.

“Selamat datang kembali, Luna.” Suaranya seperti biasa—dingin yang menenangkan. “Kamu datang tepat waktu.”

Luna mengangguk. “Iya. Susah tidur tadi malam.”

Vael menatapnya sekilas. Mungkin melihat aura. Mungkin cuma lihat kantung mata.

“Aku akan mengenalkanmu ke dapur dan mesin kopi. Tapi ingat satu aturan penting: jangan buka kulkas merah di pojok pantry.”

Luna melirik ke arah dapur. “Yang pintunya kayak lemari mayat itu?”

Vael mengangguk. “Iya. Itu... persediaan khusus.”

> Persediaan apaan? Jantung sapi? Darah manusia? Es krim rasa kebusukan?

Setelah sesi cepat kenalan dengan mesin espresso antik dari Italia dan grinder yang bersuara kayak gergaji, Luna mulai terbiasa. Beberapa pesanan datang: latte, americano, cold brew… dan satu orang minta kopi hitam “dicampur tiga tetes serum penenang dari akar mandragora”.

> Lah?!

“Bercanda,” kata si pelanggan sambil tertawa kecil. Tapi matanya merah. Tanpa lensa.

Luna senyum kaku. “Lucu, Mas.”

Sekitar pukul 10 malam, listrik tiba-tiba mati selama tiga detik.

Saat nyala kembali… ada sesuatu yang menggantung di langit-langit. Hitam. Besar. Bergerak cepat. Tapi hanya Luna yang melihatnya.

Dia menelan ludah. “Pak… Vael?”

Vael masih menulis catatan di bukunya. “Ya?”

“Ada... yang tadi terbang di langit-langit barusan.”

Vael tidak menoleh. “Kalau dia hanya mengamati, biarkan saja. Dia bagian dari sistem keamanan.”

Luna membeku. “KAFE INI PAKE KEAMANAN KELELAWAR RAKSASA?!”

Salah satu pelanggan mendekat. Perempuan tinggi, rambut panjang keperakan, memakai jubah merah marun. Matanya seperti bulan yang hancur.

“Baristanya baru, ya?” katanya ke Vael.

“Iya,” jawab Vael. “Luna Safira.”

Perempuan itu mendekat ke Luna, mencium aroma udara di sekitar lehernya. Terlalu dekat. Terlalu... haus.

“Terlalu segar untuk ukuran barista malam. Apa kamu berdarah...”

Vael berdiri. Cepat. Gerakannya hampir tak terlihat. Matanya berubah sedikit lebih gelap.

“Lilith. Jangan mulai.”

Lilith tertawa manja. “Tenang. Aku hanya bercanda. Kan... pelanggan boleh cium aroma kopi, ya?”

Dia menjilat bibir. Matanya tidak lepas dari Luna.

Dan kemudian dia pergi. Menghilang. Beneran—menghilang.

Luna terduduk. “Apa barista sebelumnya… resign karena... hal begini juga?”

Vael hanya menatapnya. Lalu berkata pelan, nyaris tidak terdengar.

“Yang sebelumnya... tidak sempat resign.”

...

Luna ingin bertanya lebih. Tapi suara pintu belakang berderit. Dan muncul sosok baru:

Nenek Laras.

Bawa termos.

“Luna,” katanya. “Ini buat kamu. Versi baru jamu semprot. Ada SPF-nya sekarang. Supaya kalo ada vampir pakai skincare, tetap perih.”

Vael mengangguk hormat. “Terima kasih, Ibu Laras.”

“Kalau ada yang ganggu, semprot aja ke muka. Termasuk dia ini,” kata Laras, sambil melirik Vael. “Kadang dia juga lupa ngontrol.”

Vael cuma tersenyum. Tidak membantah.

Dan dari rak buku... Bocah Kacamata muncul, duduk nyelonong di atas mesin espresso.

“Hai, Kak Luna. Gimana first shift-nya? Udah ditaksir vampir? Udah ngeliat makhluk-makhluk ‘teman lama’?”

“Teman lama siapa?!”

“Yang biasanya tidur di langit-langit,” jawab Rahman santai. “Namanya Kalev. Dia mantan kelelawar, sekarang freelance pengawas.”

Luna memejamkan mata. “Gue minum jamu... sekarang.”