CHAPTER 2: JAMU DAN JANGKRIK DI JENDELA KAMAR

Setelah wawancara aneh yang bikin jantungnya maraton tanpa aba-aba, Luna akhirnya sampai di rumah kontrakan kecilnya di pinggir distrik tua Orion tempat di mana lampu jalan cuma nyala setengah, dan jangkrik selalu lebih aktif dari manusia.

Kamar Luna sederhana: kasur busa tipis, rak buku penuh novel vampir yang dikasih stiker "jangan dibaca pas mati lampu", dan satu meja kayu yang jadi tempat makeup, laptop, dan kopi instan tumpah bersatu dalam harmoni kekacauan.

Dia baru saja membuka jaket saat jendela diketuk tiga kali. Tok. Tok. Tok.

Luna beku. Tiga ketukan pelan. Seolah bukan untuk memanggil... tapi untuk memperingatkan.

Dia mendekat, pelan, dan membuka tirai.

Di luar ada sesosok perempuan tua berdiri. Kain batik warna tanah, rambut disanggul ketat, dan tangan yang memegang botol kaca isi cairan keruh berwarna hijau lumut.

Nenek siapa lagi ini? pikir Luna, deg-degan.

Si nenek menatap langsung ke matanya. Lalu tersenyum. “Luna Safira, ya? Boleh pinjam waktu sebentar?”

Logika Luna menjerit: jangan buka jendela tengah malam ke orang asing yang muncul tanpa suara!

Tapi… mulutnya berkata, “Ehm… iya. Saya Luna. Nenek siapa?”

Perempuan itu menyodorkan botol. “Aku Laras. Ini untukmu. Jamu.”

“Jamu?”

“Iya. Anti vampir.”

...

...

Luna membuka kunci jendela. Pelan. “Nenek serius?”

Nenek Laras mendekatkan botol. Cairannya seperti... campuran bayam basi, lumpur, dan serpihan misteri dari zaman Majapahit.

“Tapak liman. Campur temu hitam. Ramuan ini melindungi. Kalau kamu minum malam Jumat, vampir yang gigit kamu akan... muntah-muntah. Kayak alergi. Lucu, kan?”

Luna mengerutkan alis. “Oke. Either gue lagi ngimpi, atau Nenek ini bagian dari... cosplay event yang sangat niat.”

Nenek Laras menatapnya lebih tajam. Wajahnya penuh keriput, tapi matanya muda. Terlalu muda.

“Kamu sudah masuk Nocturne. Kamu sudah ketemu Vael. Aura kamu… terbuka sekarang. Makhluk-makhluk itu bisa mencium kamu.”

Luna mulai tidak suka nadanya. “Nenek… dari mana tau nama saya?”

Nenek Laras menghela napas. “Nenek tahu lebih banyak dari yang kamu sangka. Termasuk tentang darah kamu. Kamu bukan sembarang manusia, Nduk.”

“Darah saya?” Luna makin bingung. “Maksudnya golden blood?”

Nenek Laras tak menjawab langsung. Tapi raut wajahnya berubah sedikit serius.

“Minum jamu ini malam ini. Atau minimal, bawa dalam botol kecil ke mana pun kamu pergi. Nocturne itu bukan sekadar kafe. Itu jembatan. Ke dunia yang tidur di siang hari… dan lapar di malam.”

Tanpa menjelaskan lebih lanjut, Nenek Laras berjalan pergi. Langkahnya tidak menimbulkan suara, padahal jalan setapak di luar berbatu.

Luna memandangi botol itu. Jamu? Anti vampir?

Lalu...

TOK! TOK! TOK!

Tiga ketukan lagi. Tapi kali ini… dari arah lemari.

Luna langsung reflek melempar botol jamu ke lemari.

Terdengar suara “Aduh!”

“APA ITU?!”

Pintu lemari terbuka pelan… dan dari balik tumpukan jaket, keluar...

Bocah. Kecil. Kurus. Pakai kacamata tebal. Rambut berantakan. Bajunya kayak seragam sekolah dari tahun 80an.

“Hai,” katanya ceria.

Luna menjerit. “SIAPA LO?!”

“Aku cuma... penumpang tetap kamar ini. Santai aja. Jangan gitu dong, Kak. Tadi jamunya tumpah kena kepala aku.”

Luna membeku. Mulutnya terbuka, tapi tak keluar suara.

“Nama aku Rahman. Dulu tinggal di sini. Udah lama, sih. Tapi aku suka muncul kalau ada penyewa baru yang auranya… kayak kamu.”

“Lo hantu?!”

Rahman mengangguk bangga. “Yap. Tapi friendly. Aku juga suka kopi, lho. Tapi ya... kalau aku minum, tumpah lewat lantai.”

Luna jatuh terduduk. Botol jamu tergeletak, isinya sebagian tumpah.

Hidungnya mencium aroma jamu bercampur tanah basah dan... keringat dingin.

“Besok malam,” kata Rahman pelan, “akan ada yang nyerang lo.”

“APA?!”

“Tenang. Cuma mau nyoba gigit. Kalo lo sial, ya... digigit beneran. Tapi aku bantu, kok.”

“Lo bantu gimana?! Lo transparan!”

“Ya... aku bisa teriak. Atau lempar sendok.”

Luna memeluk lutut. Kepalanya pening. Dunia terlalu cepat berubah dari skripsi dan kopi sachet... ke vampir muntah dan hantu bocah yang doyan ngintip dari lemari.

Dari luar, suara jangkrik kembali terdengar. Tapi ada irama lain... lebih berat. Seperti langkah kaki seseorang… berjalan perlahan… menuju jendela.