Chapter 1: Lamaran Kerja Jam Dua Pagi

Hujan berhenti sepuluh menit lalu, tapi sisa-sisanya masih menempel di segala hal—di kaca etalase warung, di jaket Luna yang lembap, di rambutnya yang lepek tapi tetap berusaha terlihat kece. Orion, kota kecil dengan distrik modern dan kawasan tua yang seperti lupa cara berkembang, masih sibuk menata diri di antara kabut tipis dan lampu jalanan yang mulai menyala redup.

Luna berdiri di depan kafe yang katanya unik.

Nocturne.

Bangunannya seperti potongan Eropa tua yang nyasar ke Indonesia: batu abu-abu, jendela kaca patri, dan pintu kayu besar berukir aneh—campuran simbol alkimia dan aksara Jawa kuno. Di atas pintu, papan kayu menggantung pelan-pelan ditiup angin, bertuliskan “Nocturne: Specialty Coffee & Spirits”.

> “Spirits? Maksudnya minuman... atau arwah?” pikir Luna sambil menarik napas dan membuka pintu.

Kriiing. Lonceng kecil berdenting. Bukan suara ceria seperti di warung roti, tapi lebih seperti... not pertama dari lagu horor klasik.

Begitu masuk, dunia berubah. Lampu kuning hangat menggantung rendah. Wangi kopi fresh blend menyeruak, dicampur bau kayu tua dan... sesuatu yang mirip logam. Dingin. Seperti ruang penyimpanan.

Rak-rak buku berjejer di dinding. Kursi antik. Piano tua di pojok ruangan. Bahkan jam dindingnya berdetak terlalu lambat, nyaris seperti pura-pura hidup.

Luna menelan ludah. Oke. Estetiknya sih juara. Tapi auranya... kok berasa kayak perpustakaan habis dibakar.

Dari balik bar, muncul seseorang.

Tinggi, ramping, rambut abu panjang dikuncir, kulit pucat seperti porselen retak yang belum direstorasi. Matanya—abu-abu kehijauan, tajam, tapi seperti... takut ketahuan sedang memperhatikan terlalu dalam.

Vael Constantine.

Pemilik. Juga pewawancara.

Dan, menurut gosip dari forum lowongan kerja yang Luna temukan jam 2 pagi, mungkin bukan manusia.

“Selamat datang, Nona Safira,” katanya pelan. Suaranya berat tapi lembut. Seperti suara narator acara dokumenter yang bikin orang nggak bisa tidur, tapi bukan karena bosan.

> Dia tahu nama gue? Luna langsung siaga.

“Silakan duduk,” lanjut Vael sambil menunjuk kursi tinggi di depan bar.

“Eh... oke.” Luna duduk. Kursinya dingin. Vael terlalu diam.

“Jadi,” kata Vael, “apa kamu suka kopi?”

Luna mengerjap. “Kalau saya jawab ‘nggak suka’, saya langsung ditolak, ya?”

Ada yang berkedut di ujung bibir Vael. Senyum? Tapi cepat sekali hilangnya.

“Aku suka kejujuran,” jawabnya pendek.

“Kalau gitu jujur aja: kafe ini... agak menyeramkan. Tapi keren. Gue suka tempat yang tahu caranya tampil beda.”

Vael tampak tertarik. Kepalanya miring sedikit. Seperti burung hantu yang baru lihat mangsa.

“Aku juga suka tempat yang beda. Dan kamu... istimewa.”

Luna mengangkat alis. “Maksudnya?”

Vael menunduk sejenak, seperti menyusun kalimat. Lalu menatap lagi.

“Kamu... berdarah langka, ya?”

Senyap.

Boom.

Luna menegang. Jantungnya yang tadi tenang langsung seperti ngebut. “Maaf?”

Vael tampak... sadar dia salah bicara. “Maksudku, kamu terlihat... unik. Aura kamu.”

> Aura? Siapa lo, dukun? Tapi Luna tahan dalam hati.

“Aku AB. Nggak tau langka atau nggak,” jawabnya akhirnya.

Vael mengangguk pelan. “Tentu. Maaf kalau pertanyaannya membuatmu tidak nyaman. Terkadang... aku bicara terlalu jujur.”

“Kayak saya tadi, ya?” senyum Luna, sedikit paksa. “Sama-sama awkward, berarti.”

Vael tertawa kecil. Suara tawanya... terlalu halus untuk ukuran pria. Tapi justru itu yang membuatnya anehnya menenangkan.

Wawancara berlangsung seperti mimpi: Vael lebih banyak mendengarkan. Luna bercerita tentang pengalamannya di kafe kampus, pelanggan yang sok tahu bedain kopi robusta dan arabika dari aromanya saja (padahal pesen frappuccino), sampai latte art bentuk tengkorak.

Vael tertawa untuk pertama kali.

“Bentuk tengkorak? Itu dark sekali.”

“Dark, tapi instagrammable.”

Di akhir, Vael berdiri dan mengambil secarik kertas kecil dari laci. “Besok malam, pukul delapan. Shift pertamamu. Kalau kamu masih mau.”

“Serius?” Luna hampir kaget.

Vael menatapnya. Lama.

“Ya. Aku punya firasat... kamu akan bertahan lebih lama dari barista sebelumnya.”

“Barista sebelumnya?”

“Dia... pindah kota. Karena... mimpi buruk.”

> Oke. Itu... ngaco. Tapi kenapa gue malah makin penasaran?

Luna berdiri, mengangguk cepat, dan segera keluar dari kafe.

Begitu pintu tertutup dan lonceng berdenting, suara dari dalam terdengar samar.

“Akhirnya.”

Suara Vael. Bukan pada Luna. Seolah... bicara sendiri.

Atau... pada sesuatu yang tak terlihat.