Hari-hari setelah “insiden atap” itu… aneh.
Hanazono jadi sering duduk sebelahan dengan Riku, bahkan tanpa perlu “alasan salah kirim surat cinta” lagi. Kalau guru suruh cari kelompok, dia langsung nyaut,
“Gue bareng Amemiya. Biar cepet.”
Tapi wajahnya selalu merah lima detik setelah ngomong begitu.
Riku sendiri?
Deg-degan terus.
“Gue beneran gak ngerti... ini karena takut dipukul, atau karena hal lain,” gumamnya sambil menatap kotak bekal yang baru saja diisi sepotong ayam goreng oleh Hanazono.
“Makasih,” katanya pelan.
“GAK USAH BILANG MAKASIH, GUE CUMA GAK HABIS!” jawab Hanazono, wajahnya merah, tangan nyelonong mukul lengan Riku… lagi.
[Di sudut kelas, momen investigasi berlanjut]
Yamato menempelkan stiker merah besar di papan yang dia sebut “Chart Hubungan”.
“Lihat nih,” katanya ke Rena sambil menunjuk garis merah dari gambar Hanazono ke Riku.
“Dulu, mereka duduk berseberangan. Sekarang... bersebelahan. Dulu, Riku makan sendiri. Sekarang… dia pakai bento buatan orang lain.”
Rena ngunyah cokelat sambil melirik papan. “Garis merahnya pake spidol glitter?”
“Biar dramatis. Visual penting.”
“Yah, si Hanazono emang berubah sih. Dulu tiap cowok yang nembak dia dilempar penghapus. Sekarang malah bawain ayam goreng.”
Yamato menghela napas penuh beban.
“Apakah ini... pertanda aku kehilangan sahabatku selamanya?”
Rena tepuk pundaknya.
“Tenang, lo masih punya gue. Kita sama-sama tersisih dari kisah cinta utama. Kita bisa jadi spin-off.”
[Kembali ke Riku & Hanazono]
“Besok kamu ikut piket kan?” tanya Hanazono, masih nyuap nasi sendiri.
“Kayaknya iya.”
“…Kalau lo lupa, gue tonjok.”
Tapi dia bilangnya pelan, dengan suara setengah malu.
Riku nyengir dikit. “Oke, bakal kuinget baik-baik. Demi keselamatan.”
Hanazono mendengus kecil. Tapi kali ini… dia gak mukul.