Selesai lomba estafet, semua peserta istirahat di bawah tenda. Riku duduk di bangku panjang, napas masih berat, kaos olahraga basah oleh keringat. Wajahnya masih agak merah—entah karena lelah, atau karena suara "Riku-kun" yang masih terngiang-ngiang di kepalanya.
Lalu… dia muncul.
Yamato.
Dengan slow motion imajiner, rambut kecokelatannya tertiup angin (padahal nggak ada kipas), matanya menatap jauh seolah melihat masa depan.
Dari belakang, Rena jalan santai sambil makan popcorn, ekspresinya datar. “Lagi drama lagi…”
Yamato berhenti di depan Riku.
Cahaya matahari seperti menyinarinya saja. Suara latar OST sedih mulai terdengar di kepala Riku (imajinasinya sendiri, tentu saja).
Dan Yamato—dengan tangan gemetar penuh harapan—mengulurkan sebotol air mineral.
“Minumlah…” katanya pelan, penuh getaran.
“…Yamato.”
“Setetes air ini… takkan cukup menyejukkan luka hati karena kau… telah berubah…”
“GUE CUMA IKUT LOMBA!!”
Sementara itu, dari kejauhan, Hanazono memperhatikan.
Tangannya memegang botol teh dingin yang sejak tadi belum dia kasih ke Riku.
Dahi mengerut. Bibir mengerucut. Mata menyipit.
“…Kenapa dia yang duluan?”
Dia melangkah ke arah Riku… tapi berhenti.
Riku menerima air dari Yamato. Tertawa kecil sambil bilang, “Makasih, bro.”
Hanazono mencibir. “Bro katanya… manis banget.”
Dia berbalik, duduk lagi di bayangan tenda.
Rena yang entah dari mana muncul, duduk di sampingnya.
“Mau popcorn?”
“Enggak.”
“…Kamu ngambek?”
“Enggak!”
“…Kamu cemburu?”
TONJOK.
Rena kejedot tiang tenda, tapi tetap ngunyah popcorn.
Beberapa menit kemudian, Hanazono datang ke Riku—tanpa tatapan—dan meletakkan teh di sebelahnya.
“…Minum ini juga. Yang tadi dari Yamato pasti nggak cukup.”
Riku menatap teh itu, lalu melihat Hanazono yang udah membalikkan badan.
“Terima kasih,” katanya pelan.
Hanazono berhenti sejenak, lalu menjawab…
“…Bukan karena gue peduli, ya.”
Riku tersenyum.
“Ya, ya. Aku ngerti.”