Hari itu hujan turun sejak jam ketiga.
Langit abu-abu, suara gerimis mengetuk jendela ruang kelas, dan bau tanah basah menyelinap masuk lewat celah udara.
Saat bel pulang berbunyi, sebagian besar siswa sudah pulang cepat. Tapi Riku masih duduk di mejanya, menatap buku catatan yang sudah lama tak disentuh.
Hanazono datang lima menit kemudian, mengenakan jaket tipis dan rambut sedikit basah.
“Lo belum pulang?”
“Payungku ketinggalan… Lagian aku gak terlalu suka hujan.”
“Kenapa?”
“Karena... dingin.”
Hanazono mengangkat alis, lalu berjalan ke arah jendela. Dia duduk di tepi, menatap hujan di luar dengan wajah datar yang... entah kenapa terasa tenang.
“…Tapi gue suka.”
“Hah?”
“Hujan. Rasanya… adem. Sunyi. Kayak… lo bisa mikir lebih jernih.”
Riku berdiri pelan, berjalan mendekat. Kini mereka duduk bersebelahan di dekat jendela. Jarak mereka hanya sejengkal.
“…Apa yang kamu pikirin?” tanya Riku pelan.
Hanazono tidak langsung menjawab. Matanya menatap titik jauh di antara rintik hujan.
“…Kalau gue bilang gue beneran nulis surat waktu itu, lo bakal percaya?”
“…Surat cinta itu?”
Hanazono mengangguk. Perlahan. Tapi pasti.
“…Awalnya gue malu. Jadi gue bilang salah kirim. Tapi sekarang… gue gak mau bilang itu bohong lagi.”
Suara hujan terasa makin pelan. Atau mungkin, detak jantung Riku yang jadi terlalu kencang.
“…Aku percaya,” jawabnya pelan.
Hanazono menoleh. Mata mereka bertemu.
“…Gue gak jago ngomong manis. Bahkan kadang gue terlalu kasar. Tapi... kalo lo bisa tahan semua itu, mungkin… gue bisa coba lebih pelan-pelan.”
Riku tersenyum kecil.
“Pelan-pelan juga gak apa-apa. Aku... juga belum ngerti perasaan ini sepenuhnya.”
Hanazono menunduk sedikit. Wajahnya merah. Tangannya mengepal di pangkuan.
“…Kalau lo ngomong kayak gitu terus, gue bisa suka beneran, tahu.”
Kali ini, bukan tonjokan yang datang. Tapi keheningan. Dan sebuah jarak yang tiba-tiba terasa terlalu sempit… tapi juga terlalu nyaman untuk dijauhkan.