- Senja Di Atas Velhara

Senja perlahan merambat ke langit barat, mewarnai cakrawala Velhara dengan semburat jingga dan merah darah. Cahaya mentari yang mulai merunduk jatuh menimpa menara-menara batu istana, memantulkan kilau keemasan yang hanya hadir sesaat sebelum malam mengambil alih. Angin berembus lembut dari arah utara, membawa aroma hutan pinus dan desir musim yang sedang berganti.

Di antara lorong-lorong panjang istana yang terukir sejarah, langkah kaki Kaelir Alvaresth bergema dalam hening. Jubah gelapnya menyapu lantai marmer dingin, serupa bayangan yang menyertai setiap detik dari kehidupannya. Di balik sorot matanya yang tenang, tersimpan badai yang tak diketahui siapa pun—beban seorang putra mahkota yang tengah berdiri di ambang takdir.

Lorong itu menuntunnya menuju sebuah ruangan yang nyaris dilupakan waktu—sebuah kamar batu tua, tersembunyi di balik rak-rak naskah usang dan dinding tebal yang menahan bisikan masa lalu. Cahaya lilin redup menari di permukaan meja kayu, menciptakan bayang-bayang yang menari seolah ingin menyampaikan pesan-pesan dari zaman yang telah lama berlalu.

Kaelir duduk di kursi tua, ukiran pada kayunya telah aus oleh waktu dan tangan para penguasa yang pernah duduk di sana. Ia membuka gulungan naskah kuno, lembarannya rapuh dan berbau tanah. Di dalamnya, terukir kata-kata dari zaman leluhur—ramalan dan janji, takdir dan ancaman yang menggantung di langit Velhara seperti pedang tak terlihat.

"Mahkota yang lahir di bawah cahaya bulan, akan bersinar terang atau hancur dalam bayangan sendiri" begitu salah satu kalimatnya tertulis.

Ia terdiam lama, menatap kalimat itu seolah mencari makna yang tersembunyi di antara jeda kata-katanya. Di luar, bayangan gunung di kejauhan mulai menggelap, menjelma siluet raksasa yang menjaga batas kerajaan. Angin kembali berembus, kali ini membawa hawa dingin yang menembus lapisan jubahnya.

Velhara, tanah yang telah diwariskan kepadanya, kini tak lagi terasa seperti rumah, melainkan medan yang menantang setiap keyakinannya. Rakyatnya menanti, penguasa-penguasa asing mengintai, dan di antara semua itu, Kaelir bertanya-tanya: masihkah ada ruang untuk kejujuran di dunia yang diwarnai tipu daya?

Langkah pelayan terdengar dari kejauhan, isyarat bahwa waktu untuk merenung telah habis. Kaelir menutup gulungan itu perlahan, seolah menutup lembaran takdir yang belum siap dibaca.

Ia berdiri, menatap ke luar jendela. Bulan telah naik, menggantung tepat di atas Velhara, bersinar tenang namun penuh teka-teki. Dan malam pun datang—bukan sebagai penutup hari, melainkan sebagai awal dari sesuatu yang tak terelakkan.

Dalam heningnya malam, Kaelir bersumpah: ia akan menelusuri setiap bayangan, menghadapi setiap cahaya, dan mencari makna di balik gelar yang diwariskan kepadanya. Bukan demi kekuasaan, bukan demi kebesaran nama, melainkan demi kebenaran yang telah lama tenggelam dalam diamnya dinding.