Dua hari telah berlalu sejak malam itu—malam di mana tekad Kaelir Alvaresth lahir di bawah cahaya bulan. Namun, kedamaian yang ia harapkan tak kunjung datang. Justru semakin hari, ia merasa seakan tembok-tembok istana semakin sempit, seperti perlahan ingin menelannya hidup-hidup.
Ia duduk seorang diri di perpustakaan timur. Ruangan tua itu sunyi, namun tidak tenang. Rak-rak kayu menjulang seperti menara mini yang dipenuhi gulungan, naskah, dan rahasia yang telah lama dikubur. Di tengahnya, api lentera bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang menari di dinding batu—seolah roh masa lalu tengah menyaksikannya membaca.
Kaelir menunduk, menelusuri kalimat-kalimat dari gulungan kuno di hadapannya. Gulungan itu sudah usang, tulisannya mulai pudar, namun maknanya justru semakin mengakar di benaknya.
"Bila takhta diwariskan tanpa kebijaksanaan, maka mahkota hanya akan menjadi pedang yang menggantung di atas leher pewarisnya."
Tangannya perlahan menggenggam ujung gulungan. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang mengoyak pikirannya. Sesuatu yang mengingatkannya bahwa tugas seorang raja bukan sekadar memerintah… tetapi menanggung.
"Apakah aku benar-benar siap… atau hanya sedang berpura-pura menjadi kuat di depan bayanganku sendiri?" batinnya berbisik.
Suara langkah kaki memecah keheningan. Pintu kayu berat itu terbuka perlahan, dan seorang pelayan muda masuk dengan langkah hati-hati.
“Tuan Kaelir,” katanya, menunduk dalam. “Yang Mulia Raja memanggil Anda ke Ruang Singgasana. Sekarang.”
Kaelir membeku sejenak. Tidak sering ayahnya memanggilnya secara mendadak, apalagi ke ruang itu—tempat di mana segala keputusan besar diambil, dan seringkali… tak ada jalan untuk kembali setelahnya.
Ia berdiri, merapikan jubahnya, dan menatap gulungan sekali lagi sebelum melangkah pergi. Di dalam hatinya, sebuah gema bergema, seperti peringatan yang samar.
"Jalan menuju takhta bukanlah tangga emas, melainkan lorong gelap yang hanya bisa dilalui oleh mereka yang sanggup kehilangan bagian dari dirinya sendiri."
Langkahnya menyusuri lorong batu yang sepi, lorong yang hanya diterangi obor-obor kecil yang tak sanggup mengusir bayangan sepenuhnya. Setiap derap sepatunya terdengar nyaring, seakan menggema jauh ke dalam pikirannya sendiri.
Kaelir tahu, panggilan ini bukan sekadar urusan kerajaan.
Ini tentang dirinya. Tentang siapa ia akan menjadi—dan apa yang harus ia korbankan untuk itu.
Dan dalam diam, ia mulai bertanya:
"Apakah seorang raja bisa tetap manusia… atau takhta akan perlahan-lahan mencuri jiwanya tanpa ia sadari?"