– Bayangan Mahkota, Terang Luka

Hening menyelimuti koridor utama Istana Velhara, hanya diselingi langkah sepatu Kaelir yang menggema pada lantai marmer hitam berurat perak. Dinding-dinding tinggi berhias lukisan raja-raja lama menatapnya dari masa silam, seolah mengadili arah langkahnya.

Tapi di balik kesunyian megah itu, hatinya riuh. Penuh. Sesak.

Ia baru saja kembali dari menara timur, tempat dirinya memandangi bulan seperti di malam yang sama di prolog—malam yang selalu membuatnya mengingat bahwa mahkota itu bukanlah kemuliaan, melainkan kutukan perlahan.

Ia melangkah menuju aula tahta. Di sana, Raja Varyon, ayahnya, telah menunggunya—bukan sebagai seorang ayah, tapi sebagai penguasa yang sedang menimbang beban negaranya.

“Kaelir,” suara Raja dalam, tegas, tanpa senyum. “Besok kau akan ke Perbatasan Senja. Para bangsawan mulai mempertanyakan garis waris. Tunjukkan pada mereka bahwa Velhara bukan lemah, dan darahmu pantas.”

Kaelir diam. Bukan karena taat. Tapi karena kecewa.

“Kenapa bukan kau yang berdiri di hadapan mereka?” Kaelir bertanya, lirih namun tajam. “Kau masih raja. Mengapa semua beban selalu kau lemparkan padaku seolah aku sudah duduk di singgasana?”

Varyon menatapnya. Mata yang dulu penuh kasih saat ia kecil, kini seperti batu.

“Karena seorang raja,” jawabnya, “dibentuk bukan di atas takhta, tapi di ujung tebing yang siap menelannya hidup-hidup.”

"Mahkota bukanlah emas, anakku. Ia adalah luka yang diukir waktu, dan kau akan berdarah karenanya sebelum pantas memakainya."

Kaelir mengepal tangannya dengan erat. Rasa ingin marah dan tangis saling mendesak di dalam dadanya.

"Mengapa cinta dan kepercayaan harus terkikis begitu cepat saat seseorang berada terlalu dekat dengan kekuasaan?"

Namun ia tahu, ini bukan saatnya rapuh. Bahkan jika hatinya telah lama lelah menahan beban yang tak pernah ia minta.

“Baik,” ucapnya akhirnya, suara rendah tapi bulat. “Aku akan pergi. Tapi bukan karena titahmu. Aku akan pergi... karena aku mencintai Velhara lebih dari yang ayahku pernah tunjukkan padaku.”

Raja tak berkata apa-apa. Diam itu lebih menyakitkan dari seribu makian.

Kaelir berbalik, melangkah meninggalkan aula.

Dan saat pintu besar tertutup di belakangnya, hatinya bergetar.

"Jika dunia menjatuhkanku karena cinta pada negeri ini, biarlah aku jatuh dengan nama Velhara tertulis dalam darahku."