- Jejak Yang Tak Pernah Padam

Langit Velhara masih diselimuti malam, namun istana terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin musim dingin yang menyelinap melalui jendela batu tua, tapi karena kenyataan yang baru saja ditemui Kaelir di ruang rahasia itu: Velhara berdiri di atas pondasi kebohongan.

Ia menatap dokumen yang kini terhampar di meja, sebagian bahkan jatuh ke lantai batu. Nama-nama yang dulu ia pikir setia, ternyata telah menjual janji kepada kekuatan asing. Tanda tangan sang ayah ada di banyak surat itu. Tetapi satu lembar, satu lembar yang membuat jantung Kaelir berdegup tak wajar—berisi perjanjian antara Kerajaan Valdorn dan mendiang ibunya. Bukan ayahnya.

"Ibu...? Kenapa namamu ada di antara persekongkolan ini?"

Kaelir menggenggam erat pinggiran meja. Kenangan masa kecilnya tiba-tiba menyeruak, samar—tentang suara ibunya yang mengajaknya berdiri di balkon tertinggi istana dan berkata: “Bintang tak selalu seterang yang kau lihat, Kaelir. Tapi jangan takut melihat gelap. Di situlah kebenaran kadang bersembunyi.”

Kini kata-kata itu terasa seperti pesan… bukan sekadar nasihat seorang ibu.

---

Pagi menjelang tanpa suara. Istana bangun perlahan, namun Kaelir tidak kembali ke kamarnya. Ia berdiri di taman istana, di hadapan patung ibunya—yang selama ini lebih sering ia abaikan.

"Apa yang kau sembunyikan, Ibu... Dan kenapa Ayah tidak pernah bicara tentang Valdorn setelah kepergianmu?"

Kaelir menutup mata sejenak. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar terasing di tanah kelahirannya sendiri. Di istananya sendiri. Tapi justru dalam keterasingan itu, matanya terbuka.

---

Sementara itu, di ruang tak jauh dari dewan kerajaan, para bangsawan tengah berkumpul. Mereka bicara pelan, namun penuh tekanan. Nama Kaelir mulai disebut—bukan lagi sebagai anak raja, tapi sebagai ancaman. Seorang pangeran muda yang terlalu banyak tahu dan terlalu berani bergerak.

“Jika dia membuka mulut, seluruh perjanjian kita dengan Valdorn akan runtuh.”

“Mungkin sudah waktunya... kita menyusun ulang garis suksesi.”

---

Di malam yang sama, Kaelir kembali menulis di jurnalnya—sesuatu yang sudah lama tidak ia sentuh.

"Aku dilahirkan untuk mewarisi mahkota. Tapi ternyata, mahkota itu adalah pusaka dari seribu luka. Jika Velhara adalah warisanku, maka aku tak akan memerintahnya seperti ayahku. Aku akan membakarnya… dan membangunnya kembali dari abu-abu kebenaran."

Lalu ia menutup jurnal itu dengan perlahan, menatap langit malam di luar jendela.

"Cinta... akan datang suatu hari nanti, mungkin. Tapi saat ini, aku harus belajar mencintai kebenaran—sekalipun ia pahit seperti darah."