- Bayangan Valdorn

Kabut pagi masih bergelayut saat pelayan membawakan sepucuk surat bersegel perak ke kamar Kaelir. Tidak ada nama pengirim, hanya lambang elang bersayap terbakar—lambang Kerajaan Valdorn.

Kaelir membuka segelnya perlahan. Di dalamnya, sebaris kalimat tertulis dengan tinta gelap, menciptakan getaran halus di dadanya:

"Jika kau ingin tahu siapa ibumu sebenarnya, datanglah ke reruntuhan Kuil Dyrnah saat bulan mencapai puncaknya. Sendirian."

Tanpa nama. Tanpa ancaman. Namun rasanya lebih menusuk daripada ancaman terbuka.

Kaelir berdiri di tepi jendela, menatap jauh ke cakrawala timur. Langit mulai berubah warna, seperti menggambarkan isi hatinya: gelap, namun terus didesak oleh cahaya yang enggan menyerah.

---

Hari itu, Kaelir diam. Ia tidak menghadiri pertemuan dewan, tidak muncul di halaman latihan, bahkan tak membalas panggilan penasihat istana.

Namun di balik diamnya, pikirannya berjalan ribuan langkah. Apa yang terjadi di masa lalu antara Velhara dan Valdorn? Mengapa nama ibunya terikat di dalamnya? Dan siapa yang ingin ia temui malam ini?

Saat malam menjelang dan bulan mulai merayap naik, Kaelir mengenakan jubah hitam panjang dan meninggalkan istana tanpa suara.

---

Kuil Dyrnah.

Dulu tempat suci di perbatasan dua kerajaan Velhara dan Valdorn. Kini hanya puing dan pilar retak yang tersisa, seolah waktu ikut menyembunyikan dosa-dosa yang pernah diucap dalam bisik.

Kaelir melangkah di antara bayangan batu yang hancur. Angin malam membisikkan suara yang nyaris menyerupai suara ibunya. Tapi hanya bayangan. Hanya sunyi.

Lalu, ia melihat sosok berjubah kelabu berdiri di tengah kuil.

"Kau datang, Kaelir Alvaresth."

Suara lelaki. Tenang, namun menyimpan bara yang nyaris padam.

"Siapa kau?" tanya Kaelir, bersiaga.

Sosok itu melepas tudungnya. Rambut abu-abu, mata tajam yang membawa usia dan rahasia.

"Aku adalah penjaga janji terakhir ibumu. Dan malam ini, kebenaran akan membuatmu memilih untuk menjadi bayangan mahkota, atau cahaya yang membakarnya."

Kaelir terdiam.

"Darah tak pernah berdusta, Kaelir. Tapi kebenaran… seringkali datang telanjang dan membuat kita ingin berpaling. Apakah kau siap melihatnya, meski itu berarti membenci orang yang kau cintai?"

Kaelir menatap lurus ke mata pria itu. Dalam dirinya, badai mulai membentuk pusaran.

“Katakan padaku."