- Pengungkapan

Angin malam semakin menderu, berputar-putar di antara reruntuhan kuil yang sudah lama ditinggalkan. Kaelir menatap sosok lelaki berjubah kelabu itu, yang kini berdiri lebih dekat. Ada sesuatu yang mengintai di balik matanya yang tajam—sesuatu yang mengingatkan Kaelir pada luka lama yang belum ia kenali.

"Apa yang kau tahu tentang ibuku? Tentang... hubungannya dengan Valdorn?" tanya Kaelir. Kali ini, bukan dengan kemarahan, melainkan kehausan akan kebenaran.

Penjaga itu mengangguk pelan. "Ibumu adalah putri agung Velhara, dan dulunya—sebelum perang, sebelum pengkhianatan—Velhara dan Valdorn terikat dalam perjanjian kuno. Sebuah kesepakatan yang ditulis dengan darah dan disegel oleh para leluhur."

Kaelir mengernyit. "Perjanjian?"

"Ya. Perjanjian yang bisa menyatukan dua kerajaan... atau menghancurkan keduanya. Dan ibumu memilih untuk melanggar ikatan itu."

Kaelir menggenggam ujung jubahnya, mencoba meredam gemetar yang menjalar ke jarinya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

Penjaga itu melangkah ke arah pilar yang patah, lalu menyentuh batu yang tertutup lumut.

"Dulu, Velhara dan Valdorn hampir bersatu lewat perjanjian darah—pernikahan antara garis keturunan raja Valdorn dan ibu kandungmu, Elairyn, pewaris utama Velhara."

Ia berhenti sejenak. "Tapi Elairyn menghilang sebelum pernikahan itu terjadi. Ia kabur, membawa serta rahasia yang bisa menghancurkan keseimbangan dua kerajaan. Rahasia... yang kini hidup dalam dirimu."

Kaelir menelan ludah, mencoba menafsirkan artinya. "Rahasia apa?"

Penjaga itu menatapnya dengan tatapan seperti bara yang tertutup abu. "Darahmu bukan hanya darah Velhara. Separuhnya berasal dari Valdorn."

Sunyi. Kaelir tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Seolah waktu berhenti hanya untuk menatapnya, menertawakan kebenaran yang akhirnya muncul dari bayang-bayang.

"Itu tidak mungkin. Ibu... dia tidak pernah bilang."

"Karena jika kau tahu, kau akan menjadi ancaman. Bukan hanya bagi satu kerajaan, tapi bagi keduanya."

Kaelir melangkah mundur. Udara malam terasa lebih dingin dari sebelumnya.

"Jadi maksudmu... aku anak dari dua musuh lama? Lalu siapa ayahku?"

Penjaga itu diam. Tapi dari diamnya, Kaelir tahu—itu bukan jawaban yang ringan.

"Ayahmu adalah pangeran terakhir Valdorn. Dibunuh saat Elairyn melarikan diri. Dan semenjak itu, Valdorn menyimpan luka... serta dendam."

Kaelir menunduk. Dunia yang ia kenal mulai retak. Ia bukan hanya pewaris Velhara. Ia adalah kunci bagi dua kerajaan—penyatuan atau kehancuran.

"Jadi apa yang kau ingin aku lakukan?"

"Pilih, Kaelir. Tetap menjadi bayangan mahkota Velhara, menyembunyikan siapa dirimu sesungguhnya. Atau membakar semua kepalsuan ini, dan berdiri sebagai jembatan—atau pedang—antara dua kerajaan."

Malam semakin larut. Bulan menggantung di puncaknya, seperti pengingat akan janji dalam surat itu.

Kaelir menatap peta yang masih berpendar di tanah. Pilihan di depannya terlalu besar untuk dihindari. Tapi ia tahu satu hal:

Ia tidak akan lari seperti ibunya.

"Aku akan pergi ke Valdorn," ucapnya akhirnya. "Aku akan menemukan sisi lain dari darahku. Lalu aku akan memilih."

Penjaga itu tersenyum samar, lalu berbalik.

"Kalau begitu, bersiaplah, Kaelir Velhara... atau Kaelir Valdorn. Karena kebenaran hanya awal dari badai yang akan datang."