Perjalanan ke Valdorn tidak mudah. Hutan perbatasan telah menjadi wilayah tanpa hukum, dihuni oleh bayangan dan binatang buas. Tapi Kaelir tidak goyah. Di setiap langkahnya, ia merasa mendekati bagian dirinya yang selama ini hilang.
Di malam ketiga, ia melihat cahaya dari kejauhan—menara hitam menjulang dengan bendera Valdorn berkibar dalam diam. Kota itu tidak seangkuh yang dibayangkan oleh para penulis Velhara. Ia tampak lelah, tua, dan penuh bekas luka.
Kaelir menyelinap lewat gerbang selatan saat badai pasir menyamarkan kehadirannya. Ia hanya membawa satu nama sebagai petunjuk Lord Ravien, penasihat utama kerajaan Valdorn... dan, jika benar, adik dari ayah kandungnya.
---
Di dalam istana batu gelap itu, Lord Ravien sedang duduk di ruang bawah tanah, membaca laporan. Saat seorang penjaga berbisik bahwa "seorang pemuda berjubah tanah menyebut namamu," wajahnya menegang.
"Siapa dia?"
"Ia bilang... ia anak Elairyn."
Sejenak, ruangan itu membeku.
Ravien berdiri perlahan. Lalu ia memerintahkan: "Bawa dia masuk. Tapi jangan panggil penjaga kerajaan. Belum."
---
Satu jam kemudian, Kaelir berdiri di hadapan pria dengan mata sewarna baja yang berkilat di bawah cahaya obor.
"Kau mirip dengan kakakku," bisik Ravien. "Terlalu mirip."
Kaelir tetap tegak, meski seluruh tubuhnya ingin melangkah mundur.
"Aku tidak datang untuk membawa perang," katanya. "Aku datang untuk mendengar sisi cerita yang Valdorn simpan selama ini."
Ravien berjalan mengitari Kaelir.
"Kalau begitu, duduklah, anak Velhara... atau Valdorn. Karena yang akan kau dengar bisa mengubah segalanya. Termasuk alasan kenapa ibumu harus kabur."