- Api di Timur

Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Kaelir menyiapkan kudanya. Tak seorang pun di istana Valdorn tahu niatnya pagi itu, kecuali satu orang—Ravien.

"Tak ada pengawalan. Tak ada panji kerajaan. Kau tahu ini bisa dianggap pembelotan?"

"Lebih baik dianggap pembelot daripada boneka yang duduk diam di balik meja perundingan," jawab Kaelir singkat, matanya menatap timur.

Ravien hanya mengangguk, lalu menyerahkan sesuatu: peta lusuh dengan lingkaran merah yang digambar tangan. Di atasnya tertulis:

“Benteng Eldros, reruntuhan timur, 3 hari perjalanan.”

Kaelir berangkat sebelum matahari menembus pegunungan. Sepanjang jalan, bayangan Auren terus menghantuinya—seorang ayah yang hanya ada dalam bisikan dan cerita terpotong.

"Aku tak datang untuk pengakuan. Aku datang agar masa lalu berhenti membisik di telingaku setiap malam."

Tiga hari berlalu dengan langit kelabu dan suara hutan yang sepi. Saat malam keempat jatuh, ia tiba.

Benteng Eldros.

Dulu perbatasan antara kerajaan dan tanah liar. Kini, hanya batu dan tulang yang menyambutnya. Namun di tengah reruntuhan, ada bekas api unggun yang masih hangat.

Kaelir menarik pedangnya. “Aku tahu kau ada di sini.”

Suara langkah terdengar di balik reruntuhan gerbang utama.

Seseorang muncul—tinggi, berjubah kelam, dengan topeng setengah wajah terbuat dari logam tua.

"Butuh lebih dari keberanian untuk datang sendiri ke sini," katanya.

Kaelir menyipit. “Kau Auren?”

Lelaki itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Kaelir, lalu melepaskan topengnya perlahan.

Wajah itu—mirip dirinya, hanya lebih tua, lebih keras, lebih terluka oleh waktu.

"Waktu tidak memaafkan, Kaelir. Ia hanya menunggu cukup lama… hingga kita sendiri tak mengenali siapa yang benar dan siapa yang bertahan."

"Anak dari Elairyn," katanya lirih. "Kau tumbuh dengan mata yang sama seperti dia."

Kaelir tak bisa berkata apa-apa. Hanya berdiri mematung.

Auren mendekat, suaranya bergetar:

"Maaf... karena aku tak pernah di sana. Tapi aku tak menyesal menyelamatkan ibumu dari dua takhta yang hanya tahu caranya menghancurkan."

Kaelir akhirnya berkata, pelan tapi tajam: “Dua kerajaan hampir runtuh karena rahasia kalian. Ibuku mati dalam bayang-bayang. Aku tumbuh tanpa tahu siapa diriku. Lalu sekarang kau muncul, dan semua ini... hanya permulaan?”

Auren mengangguk. "Ya. Karena yang akan datang lebih besar dari dua kerajaan. Dan hanya satu hal yang bisa menghentikannya..."

"Apa itu?"

Auren menatap Kaelir lama, sebelum menjawab:

"Pilihanmu. Antara mewarisi dosa kami… atau mematahkan rantai itu."

"Kita semua terikat rantai yang dibuat oleh mereka yang datang sebelum kita. Tapi hanya satu generasi yang bisa memutuskannya. Maukah kau menjadi yang pertama, Kaelir?"

Kaelir memandang reruntuhan sekeliling mereka. Batu-batu yang bisu. Langit malam yang menganga.

"Tempat ini bukan hanya saksi masa lalu. Ia adalah luka yang belum sembuh, menunggu darah baru untuk membangunkannya kembali."

Dan ia tahu pilihan itu kini ada di tangannya.