Angin dinihari membelai lembut reruntuhan Eldros saat Kaelir duduk di sisi api. Auren menatap nyala api tanpa berkata apa pun, seolah tiap lidiknya memanggil kembali masa lalu yang enggan dilupakan.
"Apa yang kau tahu tentang Velhara dan Valdorn?" tanya Auren akhirnya.
"Dua kerajaan besar. Dua sejarah yang saling menyembunyikan kebenaran satu sama lain."
Auren tersenyum miris. "Dua kebenaran yang dibangun di atas kebohongan yang sama."
Kaelir menoleh. "Jelaskan."
Auren menatapnya lekat, lalu mengangkat liontin logam dari balik jubahnya. Di dalamnya terukir lambang matahari dan bulan—simbol kuno perjanjian pertama antara Velhara dan Valdorn.
"Sebelum jadi dua kerajaan, mereka adalah satu tanah. Dipisahkan bukan oleh perang… tapi oleh pengkhianatan seorang penyihir berdarah campuran. Leluhurmu. Dan... leluhurku."
Kaelir tercengang. "Jadi darah kita...?"
"Adalah kunci dan kutukan."
"Kadang, yang kita warisi bukan kebesaran... tapi beban yang menunggu kita untuk menebusnya."
Auren berdiri. "Kekuatan di dalammu, Kaelir, bukan hanya dari ibumu. Tapi dari garis keturunan lama yang pernah hampir memusnahkan dunia ini."
Kaelir menggenggam gagang pedangnya.
"Kenapa baru sekarang kau muncul? Kenapa setelah semuanya hancur?"
Auren menghela napas panjang. "Karena yang lama mulai bangkit. Bayangan kuno, dari reruntuhan timur, mencari darah seperti milikmu—untuk membangkitkan sesuatu yang seharusnya tetap terkubur."
Kaelir menunduk. Dalam hatinya, badai itu kembali. Tapi kini bukan hanya pertanyaan... melainkan pilihan.
"Takdir bukan jalur yang harus diikuti. Ia adalah rantai yang bisa kita patahkan... atau kita warisi tanpa sadar."
Ia berdiri.
"Kalau memang waktunya datang, maka biarkan aku memilih caraku sendiri."
Auren tersenyum tipis, dan untuk pertama kalinya, terlihat seperti seorang ayah yang bangga—walau hanya sesaat.
"Kalau begitu, bersiaplah. Karena rantai pertama... akan mulai pecah di utara. Di Kota Tertutup: Myrrhalin."