- Penjaga Waktu

Kabut tebal menyelimuti jalur pegunungan menuju utara. Myrrhalin tak muncul di peta mana pun, bahkan tak ada yang yakin kota itu benar-benar masih ada—kecuali Auren. Dan kini Kaelir menembus jalan batu tua, diapit tebing dan hutan bisu, menuju tempat di mana langit dan tanah seolah tak pernah saling menyapa.

Kota itu akhirnya tampak: Myrrhalin, kota batu kelabu dengan menara-menara tinggi yang tak menyentuh langit, dan gerbang raksasa yang tertutup rapat oleh sulur-sulur sihir kuno. Sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara angin. Seolah waktu berhenti bernafas di sana.

Kaelir melangkah pelan. Di hadapannya berdiri sosok berjubah merah tua, wajah tersembunyi oleh topeng besi bergambar bulan sabit.

"Pewaris darah cahaya dan bayangan."

Suara itu tidak bernada ancaman, tapi penuh penilaian, seperti menimbang masa depan di balik mata Kaelir.

"Myrrhalin tak menerima tamu. Tapi kau bukan tamu. Kau adalah... pengingat."

"Pengingat dari apa?" tanya Kaelir, menggenggam erat gagang pedangnya.

"Dari dosa pertama. Dosa yang membuat kota ini tertidur."

Penjaga itu mengangkat tangannya. Sulur sihir di gerbang mulai menyala, namun bukan membuka—melainkan menampakkan kisah.

Di balik gerbang, seperti ilusi yang hidup: kilatan pertempuran kuno, makhluk-makhluk yang seharusnya tak ada, dan seorang wanita yang berdiri di atas altar batu—dengan wajah yang mirip Kaelir.

"Siapa dia...?"

"Itulah nenekmu. Penyihir yang menyegel Myrrhalin dengan satu kutukan, hanya darahnya sendiri yang dapat membangunkan kota ini. Dan kini... darah itu kembali."

Kaelir menatap bayangan itu dengan mata gemetar.

"Kadang bukan kita yang mencari kebenaran. Kebenaranlah yang menarik kita kembali, bahkan ke tempat yang tak ingin kita ingat."

Gerbang itu akhirnya membuka perlahan. Dan dari baliknya, keluarlah bisikan kuno... dan mata-mata dari kegelapan, menanti.

"Tempat-tempat tertutup tak hanya mengurung rahasia... tapi juga rasa bersalah yang terlalu dalam untuk diucapkan."

Kaelir melangkah masuk. Bayangan di belakangnya panjang, tapi tekadnya lebih kuat.

"Jika jalan ini harus kutempuh sendirian, maka biarkan aku menjadi suara di antara sunyi, cahaya di antara warisan kegelapan."