Bab 12: Keputusan Dingin

Arvin berdiri di puncak tebing, pandangannya kosong, menatap langit yang mulai gelap. Angin malam berhembus kencang, namun di dalam dirinya, ada kekosongan yang jauh lebih besar. Pedang kuno di tangannya berkilau redup, menandakan kekuatan yang kini ada dalam dirinya. Kekuatan yang pernah diinginkannya untuk melindungi orang-orang yang dia cintai, tapi kini hanya membawa kesepian.

Beberapa hari telah berlalu sejak pengkhianatan teman yang paling dia percayai, Elian. Tangan Arvin masih terasa gemetar saat mengingat pertemuan terakhir mereka, saat pedang kuno itu terhunus, dan Elian mengungkapkan niat sebenarnya. Temannya itu bukan hanya mengkhianatinya, tetapi juga berencana menggunakan pedang untuk memanipulasi kekuatan gelap yang bisa merusak dunia. Arvin masih merasa sakit, tetapi lebih dari itu, ada amarah yang mendalam.

"Kenapa?" kata Arvin dalam bisikan yang hampir tak terdengar, seolah mencari jawaban dari angin yang berhembus. "Kenapa dia melakukan ini?"

Tidak ada yang menjawab, kecuali gema suara dirinya sendiri yang hilang dalam kesunyian malam.

Langkah-langkah beratnya membawanya ke sebuah desa kecil di bawah kaki gunung. Warga di sana mengenalnya, tapi wajah mereka kini dipenuhi kecemasan. Arvin tahu, mereka takut. Mereka tahu perubahan yang ada dalam dirinya, dan meskipun pedang itu memberinya kekuatan luar biasa, ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang lebih penting dari sekadar kekuatan itu sendiri.

Arvin berjalan menuju rumah tua di ujung desa. Di sana, seseorang yang telah lama dia kenal menunggunya. Sang penyihir, Maelis, yang dulu pernah mengajarinya tentang sihir, kini menjadi satu-satunya orang yang mungkin bisa memberikan pencerahan. Maelis memandangnya dengan tatapan yang penuh pertanyaan, dan sedikit ketakutan.

"Arvin," suara Maelis lembut, "kamu... kamu telah berubah. Apa yang terjadi?"

Arvin menatapnya, matanya dingin. "Saya telah kehilangan segalanya, Maelis. Bahkan cinta saya sendiri. Semua yang saya percayai... hancur dalam sekejap. Saya hanya punya pedang ini sekarang. Kekuatan ini."

Maelis mendekat, mencoba menyentuh bahu Arvin. "Kekuatan bukanlah segalanya, Arvin. Kekuatan bisa mengubah segalanya, tapi juga bisa menghancurkanmu. Jangan biarkan dirimu menjadi apa yang kamu benci."

Arvin menggeleng, dan langkahnya semakin mantap. "Saya sudah memutuskan. Saya akan mencari Elian dan menghentikannya. Pedang ini akan membantu saya. Tidak ada yang bisa menghentikan saya lagi."

Sebelum Maelis bisa berkata lebih jauh, Arvin berbalik dan meninggalkan rumah itu. Kekuatan pedang itu memenuhi dirinya, tetapi kekosongan dalam hatinya semakin terasa. Cinta yang hilang, kepercayaan yang hancur—dia kini hanya seorang prajurit yang terlahir dari kemarahan dan rasa sakit.

Di balik semua itu, ada satu hal yang Arvin yakini: jalan yang akan ditempuhnya tidak akan kembali. Dia telah berubah, dan dunia yang menunggu di depannya pun telah berubah.