Perjalanan Berbahaya

Arvin melangkah dengan mantap di tengah hutan yang gelap, pedang kuno yang tergenggam di tangan kiri, berkilau dalam keheningan malam. Setiap langkahnya terasa berat, namun dia tidak merasa ragu. Pikiran tentang Elian yang kini menjadi musuhnya memenuhi benaknya. Pengkhianatan itu takkan dimaafkan, dan Arvin tahu hanya satu cara untuk menghentikan kekuatan gelap yang Elian coba bangun—menyudutkannya dengan kekuatan yang lebih besar.

Selama beberapa hari terakhir, Arvin telah menempuh perjalanan panjang, melewati pegunungan dan lembah, menuju benteng tempat Elian bersembunyi. Kekuatan magis pedang kuno membimbingnya, mengarahkan langkahnya meski terkadang rasa lelah hampir membuatnya menyerah. Namun, satu tujuan jelas ada dalam benaknya: menghentikan Elian dan mengembalikan kedamaian yang telah hilang.

Namun, perjalanan itu tidak tanpa tantangan. Keberadaan pedang kuno menarik perhatian makhluk-makhluk gelap yang telah lama terperangkap dalam dunia paralel. Beberapa kali, Arvin diserang oleh bayangan hitam yang muncul dari tanah, menyerang dengan kekuatan luar biasa. Makhluk-makhluk itu tak mengenal ampun, dan meskipun Arvin semakin kuat, dia mulai merasakan betapa besar harga yang harus dibayar untuk mengendalikan kekuatan pedang itu.

Dalam pertempuran yang sengit, Arvin berhasil mengalahkan salah satu makhluk tersebut, namun luka di tubuhnya semakin bertambah. Darah mengalir dari sayatan di punggungnya, dan keringat dingin membasahi dahinya. Namun, dia tidak bisa berhenti. Setiap serangan yang datang hanya menambah tekadnya untuk terus maju.

"Aku harus segera sampai ke benteng itu," gumam Arvin, mencoba mengatasi rasa sakit yang terus menggerogoti tubuhnya.

Di saat-saat seperti ini, kenangan tentang Kartika datang menghantuinya. Meskipun hatinya beku dan marah, ada seberkas cahaya dalam kegelapan yang terus mengingatkannya pada cinta yang pernah ada. Namun, pengkhianatan itu mengubah segalanya. Tidak ada lagi tempat untuk cinta dalam hatinya, hanya ada balas dendam.

Sesampainya di puncak bukit, di mana benteng Elian berdiri megah, Arvin berhenti sejenak. Melihat ke depan, dia merasakan getaran kekuatan yang sangat kuat. "Ini saatnya," bisiknya, dan pedang kuno itu bergetar dalam genggamannya, seakan merespons tekadnya yang kuat.

Namun, sebelum dia melangkah lebih jauh, suara yang familiar terdengar dari belakangnya.

"Arvin."

Dia berbalik, dan wajah yang sangat dikenalnya muncul dari kegelapan. Maelis, sang penyihir, berdiri di sana, matanya penuh kekhawatiran.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Arvin, suara dingin terdengar dalam nada suaranya.

"Jangan lakukan ini," kata Maelis dengan suara penuh rasa khawatir. "Kamu tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi. Elian lebih kuat dari yang kamu bayangkan. Kekuatan pedang itu... bisa mengubahmu selamanya."

Arvin menatap Maelis dengan tajam. "Aku tidak peduli. Aku akan menghentikan Elian, apapun yang terjadi. Aku takkan mundur."

Maelis menghela napas panjang. "Aku tahu rasa sakit yang kamu rasakan, Arvin. Tetapi balas dendam hanya akan membawa lebih banyak penderitaan. Kamu bisa memilih untuk berhenti, untuk tidak menjadi apa yang mereka harapkan. Jangan biarkan kekuatan ini menguasaimu."

Arvin menatap pedangnya yang berkilau, merasakan kekuatan yang mengalir di dalamnya. Terkadang, kekuatan itu terasa seperti obat untuk luka batin yang dalam. Tetapi juga, seperti kutukan yang menjeratnya semakin dalam.

Dia tidak menjawab, hanya berjalan melewati Maelis dengan langkah mantap, matanya tertuju pada benteng di depan.

"Jangan terlalu lama, Arvin," kata Maelis, suara penuh keputusasaan. "Kekuatan ini akan memakanmu."

Namun, Arvin tidak peduli lagi. Semua yang dia tahu adalah satu hal: dia harus menghentikan Elian, atau dunia yang dikenal akan berubah selamanya.