Pertempuran Tak Terhindarkan

Arvin memasuki benteng yang besar dan gelap, di mana bayangan-bayangan gelap bergerak cepat di antara reruntuhan batu-batu tua. Kekuatan pedang kuno di tangannya terasa semakin berat, seolah semakin banyak energi gelap yang memengaruhinya. Setiap langkah yang diambilnya menggetarkan tanah, mengingatkan dia akan apa yang sedang dipertaruhkan.

Benteng ini dulunya adalah tempat perlindungan, sebuah tempat yang penuh dengan kenangan indah bersama Elian. Namun, sekarang itu telah berubah menjadi sarang kegelapan yang menunggu untuk menelan siapa pun yang berani memasuki wilayahnya. Dan Arvin tahu, dia adalah orang yang akan mengakhiri itu semua—atau menjadi bagian dari kehancurannya.

Kedalaman gelap di dalam benteng semakin menekan, dan semakin Arvin melangkah, semakin kuat pula perasaan bahwa dia sedang menuju takdir yang tak dapat dihindari. Dia bisa merasakan kehadiran Elian, kekuatan sihir yang memancar dari arah depan. Tak lama kemudian, sosok yang sangat dikenalnya muncul dari kegelapan.

Elian, sahabatnya yang dulu, berdiri di ujung lorong besar. Wajahnya tak lagi ceria atau penuh harapan, melainkan tampak dipenuhi oleh sesuatu yang jauh lebih gelap—suatu kekuatan yang telah mempengaruhi pikirannya.

"Arvin," suara Elian terdengar rendah, namun tajam. "Aku tahu kamu akan datang. Aku tahu kamu akan berusaha menghentikanku."

Arvin tidak berkata apa-apa, hanya menggenggam pedang dengan lebih erat. "Kamu tahu kenapa aku datang. Aku tidak akan membiarkanmu menguasai dunia dengan kekuatan itu, Elian."

Elian tertawa pelan, suara yang terdengar lebih seperti tawa penderitaan. "Kekuatan ini bukan untukku, Arvin. Ini untuk kita semua. Kita bisa mengubah dunia ini, menghapuskan segala kelemahan manusia. Aku hanya melakukan apa yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan itu."

"Tujuanmu?" Arvin bertanya dengan suara yang lebih dingin dari sebelumnya. "Menghancurkan dunia untuk membangunnya kembali? Itu bukan tujuan, Elian. Itu hanya keinginan untuk mengendalikan, untuk mempermainkan takdir."

Elian menggeleng, matanya penuh dengan keyakinan yang menyakitkan. "Kau tidak mengerti. Dunia ini lemah, Arvin. Kita bisa menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang lebih kuat. Kita hanya perlu kekuatan yang cukup untuk melakukannya."

Arvin menatap Elian dengan tatapan tajam. "Dan untuk itu, kamu rela mengorbankan semuanya? Bahkan persahabatan kita? Cinta yang pernah kita miliki?"

Elian terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi lebih gelap. "Persahabatan? Cinta? Itu semua hanyalah ilusi. Kekuatan adalah satu-satunya yang nyata. Itu yang akan membentuk dunia baru."

"Kalau itu yang kamu percayai," Arvin berkata dengan suara lebih tegas, "maka aku tidak punya pilihan selain menghentikanmu."

Dengan kecepatan luar biasa, Arvin melompat ke depan, pedang kuno berkilau dan siap menebas. Elian bergerak cepat, menangkis serangan itu dengan kekuatan sihir yang dipancarkan dari tangannya. Ledakan energi mengguncang seluruh lorong, menyebabkan batu-batu runtuh dari langit-langit.

Pertempuran itu menjadi lebih intens, keduanya saling serang dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Arvin merasa energi pedang kuno mengalir lebih kuat, membakar seluruh tubuhnya dengan rasa yang tajam dan panas. Namun, dia tahu bahwa semakin dia menggunakan kekuatan itu, semakin dia terjerat dalam cengkeramannya.

Elian tampak semakin kuat, sihirnya menciptakan ilusi-ilusi yang membuat Arvin kesulitan untuk menemukan titik lemah. Namun, Arvin tidak akan berhenti. Dia tahu, meskipun pedang ini bisa membunuh, ia juga bisa menghancurkan dirinya.

Serangan Elian datang begitu cepat, hingga Arvin terpaksa melompat mundur, hanya untuk dikejar dengan serangan lain. Tiba-tiba, Arvin merasakan sesuatu yang berbeda—suatu perubahan dalam dirinya. Pedang kuno itu bergetar lebih kuat, dan saat itulah dia menyadari bahwa dia tidak hanya melawan Elian. Dia juga melawan kekuatan yang sudah mulai mengendalikan dirinya.

Satu serangan besar dari Elian berhasil membuat Arvin terlempar ke dinding benteng. Tubuhnya terasa sakit, dan darah mengalir dari luka di dadanya. Namun, dalam kelemahan itu, Arvin merasakan sesuatu yang lebih kuat. Sesuatu yang lebih penting dari balas dendam.

Maelis muncul di pintu masuk, menyaksikan pertempuran mereka. "Arvin!" teriaknya, wajahnya penuh kecemasan. "Kamu harus berhenti! Kekuatannya sudah mengambil alih dirimu!"

Arvin, meskipun terluka, memandang Elian yang semakin dekat. "Ini takkan berakhir sampai kamu berhenti, Elian."

Kekuatan pedang kuno itu semakin mendalam, dan pertempuran itu hanya akan mencapai satu titik—salah satu dari mereka harus jatuh.