Arvin merasakan aliran energi gelap yang semakin kuat menguasai dirinya, membuat tubuhnya terasa semakin berat, dan pikirannya semakin kabur. Pedang kuno yang ada di tangannya, yang dulu terasa seperti alat kekuatan luar biasa, kini menjadi beban yang hampir tak tertahankan. Seakan-akan ia dipaksa untuk berperang bukan hanya melawan Elian, tetapi juga melawan dirinya sendiri.
"Arvin!" Maelis berteriak lagi, mendekat dengan langkah cepat, namun dia tahu dia takkan bisa menghentikan pertempuran ini dengan kata-kata saja. "Kamu harus melepaskan pedang itu! Itu akan menghancurkanmu!"
Namun, Arvin tidak bisa begitu saja melepaskan pedang itu. Setiap detik yang berlalu, dia semakin terjerat dalam kekuatan yang ada di dalamnya. Rasanya seperti ada suara yang bergema di dalam pikirannya, memanggilnya untuk menyerah pada kegelapan, untuk menghancurkan segala yang ada di depannya.
Sementara itu, Elian terus maju, kekuatan sihirnya membanjiri lorong dengan cahaya yang gelap dan berkilauan. "Ini adalah jalanku, Arvin!" serunya. "Kekuatan ini adalah segalanya. Kamu tidak akan bisa menghentikannya!"
Arvin mendongak, wajahnya tegang, matanya penuh tekad. "Kekuatan bukanlah segalanya, Elian. Kamu telah melupakan apa yang sebenarnya penting."
Dengan satu gerakan yang cepat, Arvin mengangkat pedang kuno tinggi-tinggi dan melancarkan serangan yang sangat kuat. Ledakan energi mengguncang seluruh benteng, membuat dinding runtuh lebih parah. Elian menangkis dengan sihirnya, namun kali ini, Arvin bisa merasakan perbedaannya. Kekuatan pedang itu tidak hanya berasal dari dirinya, tetapi juga dari kehendak yang lebih kuat, sesuatu yang lebih dari sekadar amarah dan balas dendam.
Sebagai tanggapan, Elian mengangkat kedua tangannya, menciptakan perisai magis yang bersinar dengan cahaya gelap. "Kau masih belum mengerti, Arvin. Kekuatan ini tidak akan pernah berhenti!" Elian mendorong Arvin mundur dengan ledakan kekuatan sihir, namun Arvin berdiri teguh.
"Ini bukan tentang kekuatan!" Arvin berteriak, seolah berbicara pada dirinya sendiri lebih dari pada Elian. "Ini tentang kita, tentang manusia yang masih bisa memilih. Aku tidak akan membiarkanmu merusak dunia hanya demi kekuatan!"
Tiba-tiba, dalam kekuatan sihir yang sedang bertarung, Arvin merasakan adanya pergeseran. Energi pedang kuno itu mulai menenangkan dirinya. Keputusannya datang dengan jelas: jika dia ingin menghentikan Elian, dia harus melepaskan cengkeraman kekuatan yang selama ini menguasainya.
Dengan sekuat tenaga, Arvin menatap pedang kuno itu dan berteriak, memaksa dirinya untuk melepaskan kekuatan yang menguasainya. "Aku menolak!" serunya. "Aku bukan alatmu!"
Sebuah cahaya terang memancar dari pedang itu, dan dalam sekejap, Arvin merasa beban berat di tubuhnya menghilang. Namun, hal itu hanya sementara. Pedang itu bergetar sekali lagi, lebih hebat, lebih ganas, seolah menuntut untuk digunakan.
Elian memandang dengan keheranan. "Kau... kau melepaskannya? Kamu benar-benar tidak tahu apa yang kau lakukan!"
Namun, Arvin, yang kini lebih kuat dari sebelumnya, mengangkat pedang kuno satu kali lagi. "Aku tahu apa yang aku lakukan, Elian," katanya, dengan suara lebih tegas dari sebelumnya. "Dan aku tahu bahwa aku tidak akan membiarkan dunia ini jatuh ke tanganmu."
Dengan satu ayunan terakhir, Arvin menyerang, dan cahaya dari pedang kuno itu memancar begitu kuat, seakan mengusir kegelapan yang telah lama melanda benteng ini. Pertempuran itu, akhirnya, mencapai akhir.
Maelis berdiri di belakang, mata penuh kecemasan, namun juga penuh harapan. "Arvin, kau berhasil. Kau telah mengalahkan kekuatan itu."
Arvin, dengan napas terengah-engah, menatap pedang yang masih berkilau di tangannya. "Aku tidak mengalahkan kekuatan itu, Maelis. Aku hanya memilih untuk tidak membiarkannya mengendalikan aku lagi."
Benteng yang gelap itu, yang dulu dipenuhi oleh kegelapan dan kehancuran, mulai memudar, digantikan oleh cahaya yang baru. Meskipun Arvin tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai, dia merasa ada harapan di depan—sesuatu yang jauh lebih besar dari kekuatan dan pengkhianatan.