Kebenaran yang Terpendam

Benteng itu kini terdiam. Setelah ledakan terakhir yang mengguncang dinding-dinding batu, hanya sisa-sisa debu dan kehancuran yang tersisa. Arvin berdiri dengan pedang kuno di tangannya, nafasnya terengah-engah, tubuhnya terasa kelelahan, namun ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—sesuatu yang lebih kuat dari sebelumnya. Kekuatan gelap yang hampir menguasainya kini mulai mereda, meninggalkan rasa kosong yang aneh, seakan memberi ruang untuk pertanyaan yang lebih besar.

Elian terjatuh di tanah, wajahnya memucat, namun masih ada kilatan marah di matanya. Dia mengangkat tangan, mencoba mengumpulkan sisa-sisa sihirnya, namun tubuhnya sudah terlalu lemah. "Kenapa, Arvin?" suaranya terdengar pecah, penuh dengan kebingungannya sendiri. "Kenapa kamu berhenti? Kekuatan ini... bisa memberi kita segalanya. Mengapa kau memilih untuk menghancurkannya?"

Arvin mengarahkan pedangnya ke tanah, matanya tertunduk sejenak. "Aku memilih untuk menghancurkannya," katanya pelan, "karena aku tahu, jika aku membiarkan kekuatan itu terus hidup, itu akan menghancurkan lebih banyak hal dari yang sudah terjadi. Bahkan kita."

Maelis berdiri di samping Arvin, menatap Elian dengan rasa sedih yang mendalam. "Elian, kamu telah melupakan siapa dirimu. Ini bukan tentang kekuatan atau pengendalian. Dunia tidak membutuhkan penguasa yang memaksakan kehendak mereka."

Tapi Elian, dengan susah payah, berdiri kembali. "Dunia ini butuh perubahan. Kelemahan manusia sudah terlalu lama merusak segalanya." Dia menatap Arvin dengan tajam, mata penuh penyesalan. "Aku tahu, aku telah salah. Tapi apakah kamu tahu apa yang sebenarnya ada di balik semuanya ini?"

Arvin bingung, tak mengerti maksud Elian. "Apa maksudmu?"

Elian menghela napas, wajahnya penuh dengan keputusasaan. "Ada sesuatu yang lebih besar, Arvin. Sesuatu yang menggerakkan kita semua. Kekuatan ini... bukan hanya soal ambisi pribadi. Itu... itu datang dari kekuatan yang lebih tua, lebih gelap—yang telah mengendalikan segalanya selama berabad-abad."

Maelis mengernyit, tidak mengerti. "Apa yang kamu katakan? Kekuatan itu bukan milikmu?"

Elian tertawa pahit. "Bukan. Pedang itu, dan sihir yang ada di dalamnya, adalah alat yang lebih besar. Dan aku hanya terperangkap dalam rencananya. Sebenarnya, aku tak pernah punya pilihan."

Arvin mendekat, matanya penuh pertanyaan. "Kekuatan yang lebih besar? Apa maksudmu, Elian? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Elian menatap Arvin dengan tatapan yang hampir kosong, penuh kelelahan. "Ada makhluk yang lebih tua dari segala yang kamu tahu, lebih gelap dari apa pun yang pernah ada. Mereka yang mengendalikan kekuatan ini. Mereka yang ingin dunia ini berada di bawah kendali mereka. Pedang kuno itu... hanya pintu menuju kekuatan mereka. Aku hanya... alat yang dipilih untuk membuka pintu itu."

"Jika itu benar," Arvin berkata, "maka kita harus menghentikan semuanya sebelum terlambat."

Elian mengangguk lemah. "Aku tahu. Itu sebabnya aku berjuang, Arvin. Aku berjuang untuk menghentikan mereka. Tapi aku terlalu terlambat. Mereka telah menguasai pikiranku. Aku tidak bisa melawan lagi."

Arvin merasa ada sesuatu yang membebani hatinya. "Elian..." Suaranya penuh penyesalan. "Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Tapi aku tidak bisa membiarkan dunia ini jatuh ke tangan kekuatan yang lebih gelap. Kita harus berhenti, sekarang."

Maelis melangkah maju, meraih tangan Arvin. "Ini lebih dari sekadar kekuatan. Ini tentang mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik segalanya."

Arvin mengangguk, dan tanpa berkata-kata lagi, dia melihat ke sekeliling—ke reruntuhan yang kini tampak seperti tempat yang telah lama ditinggalkan. Dia tahu, perjalanan ini belum berakhir. Bahkan dengan Elian yang telah menyadari kegelapan yang menguasainya, pertempuran sesungguhnya baru saja dimulai.

"Kita harus mencari tahu siapa yang berada di balik semua ini," kata Arvin, suara penuh tekad. "Dan kita akan menghentikan mereka."

Dengan langkah pasti, Arvin meninggalkan benteng yang hancur, ditemani oleh Maelis dan Elian, yang kini merasakan beban kesalahan yang tak bisa dihindari. Namun, di dalam hati mereka, ada harapan baru yang muncul—harapan bahwa meskipun kegelapan itu kuat, kebenaran yang lebih besar akan membawa mereka menuju kemenangan.