Bab 17 — Bayangan yang Membisik

Langit malam memerah, seolah langit pun menangis atas darah yang tertumpah hari itu.

Di reruntuhan kuil tua, Arvin berdiri sendirian, jubahnya berkibar diterpa angin kering. Di genggamannya, pedang kuno Velgrath bergetar ringan—seakan merasakan hawa kegelapan yang semakin mendekat.

"Jangan terlalu keras pada mereka," bisik suara dalam pikirannya.

Arvin mengerutkan alis. Itu suara pedangnya—makhluk kuno yang bersemayam di dalam bilah Velgrath.

"Mereka memilih jalan mereka sendiri," jawab Arvin lirih.

Suara itu tertawa pelan. "Dan kau memilih kehancuran."

Di antara bayangan reruntuhan, sosok-sosok bertudung mulai bermunculan. Mereka adalah Penjaga Hitam—pasukan rahasia kerajaan yang kini memburu Arvin sebagai buronan. Mata mereka bersinar merah dalam kegelapan.

"Arvin, demi perintah raja, serahkan pedang itu!" seru salah satu dari mereka.

Arvin mengangkat kepalanya perlahan. Tatapannya dingin, kosong.

Tanpa berkata-kata, ia menghunus Velgrath, dan aura kelam menyebar dari tubuhnya, memecah tanah di bawah kaki.

"Kalau begitu..."

Suaranya rendah, nyaris seperti gumaman.

"Datanglah. Biar kutunjukkan arti pengkhianatan yang sebenarnya."

Pertarungan pun pecah.

Satu per satu Penjaga Hitam menerjang, tapi Arvin bergerak seperti bayangan. Tiap tebasannya menorehkan luka dalam, tiap gerakannya diiringi ledakan sihir gelap yang menghancurkan tanah dan udara di sekeliling.

Namun di tengah pertempuran brutal itu, mata Arvin tetap kosong. Tidak ada amarah. Tidak ada belas kasihan.

Hanya kehampaan.

Di kejauhan, tersembunyi di balik reruntuhan, seorang gadis memperhatikan.

Matanya berkaca-kaca saat melihat Arvin berubah menjadi sosok asing.

Dia adalah orang yang dulu paling dicintai Arvin—dan yang pertama mengkhianatinya.

"Arvin..." bisiknya, dengan suara nyaris tak terdengar, "Apa yang telah kulakukan padamu...?"

siapakah yang akan bertemu dengan arvin???