Hening.
Hanya suara angin yang melolong melewati reruntuhan, membawa bau darah dan debu.
Tubuh-tubuh Penjaga Hitam tergeletak tak bernyawa, membentuk jalur kematian di belakang langkah Arvin.
Pedang Velgrath perlahan meredup, tapi aura kegelapan di sekitar Arvin belum menghilang.
Dia berjalan perlahan, tanpa tujuan.
Setiap langkahnya terasa berat, seolah bumi menolaknya, seolah dosa-dosa yang baru saja ia lakukan menggantung di pundaknya.
"Apakah ini jalan yang kau pilih, Arvin?"
Suara itu lagi. Velgrath berbicara dari dalam pikirannya, licik, menggoda.
Arvin menggenggam pedangnya lebih erat, tapi tidak menjawab.
Karena jauh di dalam hatinya, ia pun bertanya pada dirinya sendiri: Apakah aku benar? Atau aku hanya monster lain yang mereka ciptakan?
Tiba-tiba, di tengah reruntuhan, dia melihatnya.
Gadis itu—sosok dari masa lalunya—berdiri gemetar, mata berkaca-kaca.
Gaun putihnya koyak, berlumur debu, tapi Arvin masih mengenalinya dengan sekali lihat.
Lyra.
Orang yang dulu ia lindungi dengan seluruh jiwanya.
Orang yang kini menjadi salah satu alasan hatinya membeku.
"Arvin..." Lyra memanggil, suaranya serak karena tangis.
Arvin berhenti.
Pedangnya sedikit turun, tapi matanya tetap tajam, penuh kehati-hatian.
"Kau... berubah," kata Lyra, langkahnya goyah mendekat. "Aku... aku tidak mengira semuanya akan menjadi seperti ini."
Arvin hanya menatap. Dingin. Diam.
"Aku dipaksa," isak Lyra. "Mereka mengancamku, Arvin... aku tak punya pilihan..."
Kata-katanya bergetar di udara, namun bagi Arvin, suaranya terdengar jauh... seperti bayangan masa lalu yang hampir ia lupakan.
"Aku percaya padamu," ucap Arvin perlahan.
Suara itu penuh luka, tapi tak menunjukkan emosi.
"Aku... aku masih mencintaimu!" jerit Lyra, jatuh berlutut di depannya.
Untuk sesaat, tangan Arvin gemetar.
Untuk sesaat, hatinya yang dingin terasa retak.
Namun...
Dalam hatinya, suara Velgrath berbisik pelan:
"Cinta yang mengkhianatimu sekali, akan mengkhianatimu lagi."
Mata Arvin menajam.
Dengan satu gerakan cepat, ia membalikkan badan, meninggalkan Lyra yang menangis di tanah.
Tanpa sepatah kata.
Tanpa menoleh.
Karena bagi Arvin, cinta telah mati bersama kepercayaannya.
Dan hanya satu jalan yang tersisa—jalan darah, jalan kekuasaan.