Langit mulai cerah.
Sinar mentari pagi menembus reruntuhan, memantulkan bayangan-bayangan patah di atas tanah yang dipenuhi luka.
Arvin berjalan perlahan, langkahnya berat seakan tiap inci tanah berusaha menahannya.
Di belakangnya, Lyra tetap berlutut di tanah, tubuhnya gemetar.
Namun Arvin tidak menoleh. Ia takut... takut jika sekali saja ia melihat wajah itu lagi, ia akan kehilangan kekuatannya.
"Kau tidak harus sendiri."
Suara kecil itu menggema dari masa lalu—suara Lyra yang dulu pernah berkata di hari pertama mereka bertemu.
Arvin mengepalkan tangan.
Pedang Velgrath terasa dingin di genggamannya, seolah ikut membekukan hatinya.
Dia berhenti di sebuah danau kecil di tengah hutan yang mulai ditelan musim gugur.
Airnya tenang, memantulkan bayangan dirinya—seorang pemuda yang hampir tidak ia kenali lagi.
"Aku... sudah sejauh ini," bisik Arvin pada dirinya sendiri.
Suara itu nyaris patah.
"Aku kehilangan segalanya," lanjutnya, matanya memandang kosong ke air.
"Keluarga. Teman. Cinta."
Tiba-tiba, air danau bergetar perlahan, dan dari pantulan itu, ia melihat sosok Lyra—bukan seperti yang ia lihat tadi, tapi Lyra yang dulu, yang tersenyum dengan mata berbinar penuh harapan.
Air matanya jatuh, satu tetes kecil yang pecah di permukaan air.
"Aku ingin percaya padamu..." bisik Arvin, suaranya bergetar. "Tapi aku terlalu rapuh untuk terluka lagi."
Dalam keheningan itu, angin berhembus lembut, membawa serpihan kelopak bunga yang gugur ke permukaan air.
Bunga itu hanyut perlahan, seperti membawa semua perasaan yang tidak pernah sempat diungkapkan.
Arvin menutup matanya.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak merasa kuat.
Ia merasa manusia—luka, rapuh, dan sendirian.
Namun saat ia membuka mata lagi, ada sesuatu yang berbeda.
Bukan kekuatan gelap yang mendorongnya untuk melangkah.
Bukan amarah, bukan dendam.
Melainkan janji kecil dalam hatinya—bahwa suatu hari, ia akan menemukan jalan untuk dirinya sendiri, tanpa harus terus melukai siapa pun.
Bahkan jika itu berarti berjalan sendirian di jalan berduri ini.
Dengan langkah perlahan tapi mantap, Arvin melangkah meninggalkan danau, meninggalkan bayangannya sendiri.
Langkah baru.
Langkah menuju masa depan yang belum pasti.
Tapi untuk pertama kalinya...
Dia berjalan bukan karena kebencian.
Melainkan karena keyakinan kecil—bahwa hidupnya masih berarti sesuatu.
Meskipun bunga terakhir telah gugur.
kalo ada yang baca tolong kasih ulasanya ya, trimakasihh😊