Malam telah tiba, dan Arvin melangkah menjauh dari kerajaan yang seakan tak lagi memiliki tempat baginya. Kegelapan malam memberi kesan bahwa dunia ini menuntutnya untuk menanggalkan segala yang telah ia kenal, bahkan dalam dirinya sendiri. Pedang kuno yang kini menjadi bagian dari dirinya, seperti beratnya sebuah beban yang terus menuntut untuk digunakan.
Setelah berjam-jam berjalan tanpa tujuan yang jelas, Arvin berhenti di sebuah tempat yang sunyi. Sebuah hutan gelap yang pernah ia lewati bersama teman-temannya di masa lalu, sebelum pengkhianatan yang menghancurkan segalanya. Hutan ini selalu menjadi tempat yang penuh kenangan, namun kini hanya terasa seperti reruntuhan masa lalu.
Di tengah kesunyian itu, Arvin merasakan sebuah kehadiran. Sesosok bayangan muncul di antara pepohonan yang rapat. Arvin menarik pedangnya dengan gesit, siap menghadapi apapun yang mendekat. Namun, bayangan itu tidak bergerak agresif. Hanya berdiri di sana, menunggu.
"Apa yang kau cari di sini, Arvin?" suara itu terdengar begitu familiar, namun penuh dengan nada dingin yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.
Arvin menatap bayangan itu, mengenali siapa yang berada di hadapannya. "Kau…," kata Arvin dengan suara pelan, namun penuh emosi. "Kau yang menyebabkannya."
Sosok itu melangkah maju keluar dari bayang-bayang, tampak dengan wajah yang tak asing. Itu adalah teman lama Arvin, Leona, yang pernah menjadi sahabatnya—seorang ksatria yang berjuang bersama di medan perang. Namun kini, wajahnya tampak lebih keras, penuh dengan kesan bahwa ia telah berubah jauh, seiring dengan perjalanan yang telah mereka ambil.
"Jadi, kamu akhirnya tahu," Leona berkata dengan nada datar, matanya tajam memandang Arvin. "Tentang pengkhianatan itu."
Arvin mengunci pandangannya pada Leona, dan ada perasaan yang sulit dijelaskan yang menggulung di dadanya. "Kenapa? Kenapa kau melakukannya? Kita dulu berjuang bersama."
Leona tersenyum, namun senyumnya bukanlah senyum yang penuh kasih. "Dunia ini bukan tentang perjuangan bersama, Arvin. Ini tentang siapa yang lebih kuat. Dan aku memilih untuk hidup, bukan terperangkap dalam ilusi persahabatan."
Arvin menelan kata-kata itu, merasakan kepahitan yang semakin menyesakkan dadanya. "Jadi, semua yang kita jalani itu bohong? Semua itu hanya permainan untukmu?"
Leona mengangguk pelan. "Perjuangan kalian, impian kalian, itu semua hanyalah batu loncatan. Aku memilih kekuatan. Kekuasaan. Dan aku tahu, itu juga yang kau inginkan, Arvin. Tapi kau masih terjebak dalam bayangan masa lalu."
Arvin merasa amarahnya mulai membara, namun ada sesuatu yang lebih dalam di dalam dirinya yang terasa semakin tebal—kekecewaan. "Kau salah. Aku bukan seperti kau. Aku… aku hanya ingin melawan mereka yang telah merusak hidupku."
Leona melangkah lebih dekat, jarak di antara mereka semakin sempit. "Lalu, Arvin, apa yang kau rencanakan? Akan ada perang, dan aku akan berada di sisi yang benar. Kau… mungkin akan berada di sisi yang salah."
Tiba-tiba, Leona menarik pedangnya dengan gerakan yang cepat dan terampil, mengarahkannya ke Arvin. "Jika kau ingin bertarung, Arvin, aku tidak akan menghalangimu. Tapi ingat, ini bukan lagi tentang persahabatan. Ini tentang siapa yang bertahan hidup."
Arvin memegang pedangnya lebih erat, merasa getaran magis yang mengalir di tubuhnya. Kekuatan pedang kuno itu menggetarkan udara di sekitar mereka, namun Arvin menahan diri untuk tidak langsung menyerang. Dia tahu, pertempuran ini lebih dari sekedar perkelahian fisik. Ini adalah pertarungan antara masa lalu dan masa depan. Antara yang lama dan yang baru.
"Jika itu yang kau inginkan, Leona," kata Arvin dengan suara yang dalam, "maka aku akan menunjukkan siapa yang benar-benar kuat."
Pertarungan mereka dimulai dengan kecepatan yang luar biasa. Setiap ayunan pedang Arvin bertemu dengan kekuatan luar biasa yang dimiliki Leona. Kedua sahabat ini, yang dulu berjuang berdampingan, kini berada di ujung yang berseberangan. Sinar magis dan pedang yang beradu menciptakan suara yang memecah keheningan malam, sementara di dalam hati Arvin, ada perasaan yang lebih tajam dari pedang mereka.
Apa yang akan terjadi selanjutnya, Arvin harus membuat pilihan. Akankah ia terus berjuang dengan jalan kekuatan yang dingin dan penuh kegelapan, atau adakah harapan bagi dirinya untuk kembali menemukan cahaya yang pernah ia miliki?