Bab 23: Jalan yang Tak Kembali

Pertarungan antara Arvin dan Leona semakin intens. Pedang mereka saling beradu, memancarkan percikan cahaya yang tajam di malam yang gelap. Setiap gerakan Arvin penuh dengan perhitungan, tidak ada lagi kehangatan atau keraguan dalam dirinya. Dia tahu, tidak ada tempat untuk kelemahan di dunia ini. Semua yang dulu ia percayai—persahabatan, cinta, bahkan harapan—telah hancur bersama pengkhianatan yang membekas di hatinya.

Leona, meskipun terampil dan kuat, tampak terkejut dengan perubahan yang terjadi pada Arvin. Dulu, dia adalah sahabat yang berjuang dengan semangat untuk kebaikan. Namun kini, wajah Arvin yang dingin dan penuh tekad seolah mengingatkannya pada sebuah kenyataan yang tak dapat ia hindari: Arvin bukan lagi orang yang sama.

"Kenapa, Arvin?" teriak Leona saat mereka berpisah sejenak, napasnya terengah-engah. "Kenapa kau memilih jalan ini? Ini bukan kamu! Kita dulu… kita dulu berjuang bersama!"

Arvin menatapnya, matanya tidak menunjukkan sedikitpun belas kasihan. "Aku sudah meninggalkan semua itu, Leona. Dunia ini tidak butuh orang seperti kita yang lemah. Hanya kekuatan yang bisa mengubah segalanya."

Leona menatapnya dengan bingung dan sedikit kesedihan. "Kau salah! Kekuatan tanpa tujuan hanya akan menghancurkanmu!"

Namun, Arvin hanya tersenyum sinis. "Aku sudah tahu apa yang kuinginkan. Dan itu bukan lagi persahabatan atau cinta. Ini adalah dunia yang akan kubangun dengan kekuatanku sendiri."

Pertempuran itu kembali berlanjut dengan lebih cepat, lebih ganas. Leona memanfaatkan kecepatan dan kelincahannya untuk menghindari serangan Arvin yang kuat, namun semakin lama, dia mulai merasa kelelahan. Sementara Arvin, dengan kekuatan yang diperoleh dari pedang kuno, semakin tak terkalahkan.

Setiap serangan Arvin kini lebih dari sekedar pertarungan. Itu adalah ekspresi dari rasa sakit dan kebencian yang menumpuk dalam dirinya. Setiap tebasan, setiap langkah, adalah simbol dari keputusan yang telah ia buat—untuk berjuang hanya demi dirinya sendiri, untuk menghancurkan apapun yang menghalanginya.

Akhirnya, dalam satu gerakan cepat, Arvin mengalahkan Leona. Pedangnya menembus perisai sihir yang Leona coba bangun dengan kekuatan terakhirnya, dan senjatanya menciptakan luka di tubuh sahabat lamanya. Leona terjatuh ke tanah, nafasnya terengah-engah. Wajahnya penuh dengan keputusasaan dan rasa sakit.

Arvin berdiri di atasnya, pandangannya tajam dan tak menunjukkan sedikitpun rasa penyesalan. "Kau tidak mengerti, Leona. Ini adalah jalan yang harus aku tempuh. Tidak ada tempat untuk kelemahan."

Leona, dengan suara lemah namun penuh dengan kebingungannya, berkata, "Aku… aku masih percaya padamu, Arvin. Kau bisa kembali. Jangan biarkan kekuatan ini merusakmu lebih jauh."

Namun Arvin hanya diam, tidak memberikan jawaban. Dia tahu bahwa kata-kata itu tidak lagi berarti apapun baginya. Jalan yang dia pilih sudah terbentang jelas di depannya, dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Tidak bahkan sahabatnya yang pernah begitu dekat dengannya.

Setelah beberapa detik keheningan, Arvin berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Leona yang terbaring lemah di tanah. Tak ada rasa kemenangan dalam langkahnya. Hanya kesendirian yang semakin menyesakkan.

Selama perjalanan kembali ke tempat yang lebih terpencil, Arvin merasakan sesuatu yang asing, sebuah perasaan yang perlahan-lahan menyusup ke dalam hatinya. Namun, dia menepisnya segera. Dia tidak punya waktu untuk keraguan. Dia tidak punya tempat untuk kelemahan.

Sementara itu, berita tentang pertempuran Arvin dengan Leona segera tersebar. Beberapa pihak mulai meragukan jalan yang diambilnya, namun Arvin tetap tidak bergeming. Setiap langkah yang ia ambil semakin memperkuat tekadnya untuk menjadi penguasa yang tak terbendung—sebuah sosok yang tidak lagi memiliki kelemahan atau keterikatan pada masa lalu.

Dengan pedang kuno di tangannya dan kegelapan di hatinya, Arvin melangkah ke arah peperangan yang akan datang. Dan ia tahu, bahwa meskipun dirinya telah kehilangan segalanya, ia tidak akan pernah menoleh lagi ke belakang.