Perang semakin dekat, dan setiap langkah yang diambil Arvin semakin mendekatkannya ke medan perang yang penuh dengan darah dan api. Kerajaan-kerajaan yang telah lama hidup dalam kedamaian kini mulai bergerak, bersiap menghadapi ancaman yang datang dari pasukan yang semakin kuat. Arvin, dengan pedang kuno yang memberinya kekuatan sihir yang tak tertandingi, menjadi sosok yang ditakuti. Namun, dalam hatinya, ada sebuah kekosongan yang semakin terasa—meski ia tidak mengakuinya.
Arvin kini berada di sebuah benteng terpencil, tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kerajaan. Di sana, ia melatih dirinya lebih keras lagi, mengasah kekuatan pedang dan sihirnya. Pedang itu bukan sekadar senjata—itu adalah bagian dari dirinya, dan ia tidak bisa melepaskannya, meskipun setiap kali ia menggenggamnya, ada rasa seperti terperangkap dalam takdir yang tak bisa dihindari.
Pagi itu, seorang pengintai tiba di benteng. Wajahnya tegang, dan keringat dingin membasahi pelipisnya. "Tuan Arvin," katanya dengan suara terbata, "kami menerima kabar dari pasukan musuh. Mereka telah bergerak lebih cepat dari yang kita duga. Mereka menuju ke perbatasan kerajaan yang kita kuasai."
Arvin menatapnya dengan tajam, tidak terkejut. Semuanya berjalan sesuai rencananya. Ia telah menunggu momen ini, saat peperangan akan meledak, dan ia akan berada di garis depan. Di dunia yang penuh dengan pengkhianatan ini, hanya satu yang bisa bertahan—yang paling kuat.
"Aku mengerti," jawab Arvin datar, menatap jauh ke luar jendela benteng. "Siapkan pasukanku. Kita tidak akan mundur."
Keesokan harinya, pasukan Arvin mulai bergerak, dipimpin oleh tangan yang dingin dan penuh perhitungan. Arvin tidak memikirkan lagi tentang teman-temannya yang telah jatuh atau apa yang telah hilang. Yang ada hanya peperangan yang akan menuntutnya untuk bertarung hingga titik darah penghabisan. Setiap langkahnya di medan perang adalah langkah menuju takdir yang telah ia pilih sendiri—takdir yang tak bisa diubah.
Setelah beberapa hari perjalanan, mereka tiba di medan pertempuran yang luas, dipenuhi dengan pasukan musuh yang sudah siap bertempur. Tentara musuh tampak lebih banyak, namun Arvin tidak merasa gentar. Kekuatan yang dimilikinya jauh lebih besar daripada apa yang bisa dibayangkan oleh pasukan ini.
Arvin berdiri di depan pasukannya, mata-mata yang penuh dengan tekad menatapnya. "Kita tidak akan mundur. Kemenangan ada di tangan kita, selama kita tidak ragu. Ingat, kita bertarung untuk kekuatan, untuk masa depan yang kita ciptakan."
Keteguhan Arvin menyebar di antara pasukannya, dan meskipun banyak yang masih merasa cemas, mereka tetap mengikuti perintahnya. Mereka tahu bahwa di belakang mereka ada seorang pemimpin yang tak kenal takut, yang tak pernah berhenti berjuang untuk mencapai tujuannya.
Perang dimulai dengan gemuruh yang menakutkan. Arvin berdiri di garis depan, pedangnya menyala dengan kekuatan sihir yang luar biasa. Tiap tebasannya memotong dengan presisi, menghancurkan barisan musuh yang mencoba menghadang. Dalam dirinya, ada sebuah api yang menyala—api yang tidak akan padam, tidak akan pernah surut.
Leona, yang mendengar tentang pertempuran ini, berdiri di kejauhan, melihat pasukan Arvin bergerak maju dengan kekuatan yang menakutkan. Hatinya berat, meskipun dia tahu bahwa Arvin tidak lagi bisa diselamatkan. Namun, ada bagian dari dirinya yang masih ingin percaya bahwa sahabat lamanya masih tersisa di dalam diri pemuda itu, meskipun itu semakin jauh dari kenyataan.
"Apa yang telah terjadi padamu, Arvin?" bisik Leona pada dirinya sendiri, menatap dengan hati yang penuh dengan keraguan dan kesedihan. "Kau tidak lagi berjuang untuk dunia, tapi hanya untuk dirimu sendiri."
Namun, Arvin tidak peduli lagi dengan pertanyaan itu. Baginya, tidak ada lagi yang lebih penting selain kekuatan dan kemenangan. Ia berdiri di atas darah yang tumpah, melihat pasukannya bergerak maju. Dalam dirinya, rasa kosong itu semakin terasa, tapi ia menutupinya dengan keteguhan yang lebih kuat. Ia sudah memilih jalan ini—dan tak ada jalan kembali.
Dalam pertempuran yang berlangsung sengit, pasukan Arvin akhirnya berhasil meraih kemenangan. Musuh yang lebih besar dan lebih kuat itu telah hancur, dan Arvin berdiri sebagai pemenang, meskipun di dalam dirinya masih ada sebuah kekosongan yang tak terisi. Kemenangan ini, meski dirayakan, tetap terasa hampa baginya.
Malam setelah pertempuran, Arvin duduk seorang diri di tengah kemah, memandangi pedangnya yang kini terendam darah. Cahayanya memantulkan siluet wajahnya yang tegang dan penuh perhitungan. Di luar, suara kegembiraan pasukannya terdengar, namun dalam hatinya, Arvin hanya merasa semakin jauh dari dunia yang dulu ia kenal.
Dia tahu, perjalanan ini belum berakhir. Dan dengan setiap langkahnya, dia semakin terjerat dalam jalan yang telah dia pilih—jalan kekuatan yang dingin dan tak terkendali. Tak ada yang bisa menghentikannya sekarang, bahkan dirinya sendiri.