Arvin berjalan dengan langkah berat, matanya menatap kosong ke depan, terlarut dalam pikirannya. Pedang kuno yang ada di tangannya, yang dahulu penuh dengan makna dan harapan, kini terasa seperti benda asing yang hanya membebaninya. Semakin ia berusaha untuk melupakan masa lalu, semakin ia diseret kembali oleh kenangan-kenangan itu.
Namun, kabar yang baru saja ia dengar menghantamnya dengan keras, seperti petir yang menyambar di siang bolong.
Di sebuah kedai kecil di pinggir jalan, suara riuh orang-orang yang sedang membicarakan berita terbaru menarik perhatian Arvin. Ia tidak berniat mendengarkan percakapan itu, namun kata-kata yang disampaikan begitu jelas dan menusuk hatinya.
"Kabarnya, Kiran dan Lyra akhirnya menikah," ujar seorang pria dengan suara lantang. "Mereka melangsungkan pernikahan di kerajaan utara. Tidak ada yang menyangka mereka akan bersatu begitu cepat setelah apa yang terjadi."
Arvin membeku di tempatnya. Semua suara di sekitarnya mulai terdengar seperti gema yang jauh, kabar itu menggema dalam benaknya. Kiran dan Lyra... menikah. Semua perasaan yang selama ini ia pendam—rasa sakit, kehilangan, dan kebencian—kini meledak begitu saja dalam dirinya. Tanpa sadar, tangannya menggenggam pedangnya dengan kuat, seolah itu satu-satunya yang bisa menahannya.
"Kenapa?" bisiknya pada dirinya sendiri. "Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini?"
Arvin berjalan keluar dari kedai dengan langkah cepat, namun hatinya terasa hancur. Bagaimana bisa mereka begitu mudah melupakan segalanya? Bagaimana bisa Kiran, sahabat yang dulu ia percayai, dan Lyra, wanita yang pernah menjadi segalanya baginya, bersatu begitu saja? Tidak ada penyesalan, tidak ada rasa bersalah—seakan-akan semua yang telah terjadi sebelumnya tidak pernah ada.
Saat Arvin menjejakkan kaki di tanah yang dingin, ia merasa dunia di sekelilingnya berubah menjadi kabut tebal. Rasa sakit itu semakin dalam, semakin tajam, seolah-olah ia tertusuk oleh pedang yang sama yang telah memberinya kekuatan.
Di dalam hatinya, ia merasa seolah segala usaha yang telah ia lakukan untuk bertahan, untuk menjadi kuat, sia-sia. Semua kenangan indah bersama Lyra, semua percakapan yang mereka bagi, semua janji yang mereka buat—sekarang hanya menjadi bayangan yang semakin pudar.
Arvin berhenti di tengah jalan, memandangi langit yang kelabu, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. "Kenapa harus begini?" tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar. "Aku sudah berjuang begitu keras, tetapi kenapa justru aku yang hancur?"
Ia teringat kembali saat pertama kali bertemu Lyra, senyumnya yang cerah, tatapan matanya yang lembut. Semua itu terasa begitu jauh, seperti kenangan dari kehidupan yang berbeda. Sekarang, Lyra bukan lagi miliknya, dan Kiran—sahabat yang dulu ia anggap sebagai saudara—justru mengambilnya dari tangannya.
Arvin mendekap dada, seakan ingin menahan rasa sakit yang semakin menyengat. Setiap kenangan bersama Lyra sekarang terasa seperti racun yang menggerogoti hatinya. Cinta yang dulu ia rasakan berubah menjadi luka yang tak bisa sembuh.
Namun, di balik rasa sakit itu, ada kebencian yang semakin tumbuh. Arvin tahu bahwa jalan yang ia pilih—jalan kekuatan dan keheningan—adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Jika ia terlalu lama terperangkap dalam kenangan itu, ia tidak akan bisa melanjutkan perjalanan.
Dengan langkah yang lebih mantap, Arvin melanjutkan perjalanannya, meskipun hatinya hancur. Setiap langkahnya semakin jauh dari masa lalu, semakin jauh dari orang-orang yang telah ia cintai. Pedang kuno yang ada di tangannya kini bukan hanya simbol kekuatan, tetapi juga simbol kehilangan.
Tidak ada lagi yang bisa mengubah apa yang telah terjadi. Kiran dan Lyra telah memilih jalan mereka, dan Arvin harus memilih jalan yang berbeda. Jalan yang penuh dengan kesendirian dan kegelapan, tetapi setidaknya, itu adalah jalannya.