Bab 29: Jalan yang Tak Dikenal

Malam itu, Arvin mengikuti Mara menuju tempat persembunyian kelompoknya. Mereka berjalan melewati jalan setapak tersembunyi di antara pepohonan gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang pucat. Arvin tetap waspada, genggaman tangannya erat pada sarung pedangnya, meskipun ia sudah mengambil keputusan untuk ikut.

Tak lama, mereka tiba di sebuah reruntuhan kuno—bekas benteng yang telah lama ditinggalkan. Dari luar, tampak sepi, tapi begitu masuk ke dalam, Arvin melihat banyak sosok bergerak dalam bayang-bayang. Ada yang mengasah senjata, ada yang merawat kuda, dan beberapa tampak tengah berbicara serius di dekat perapian kecil.

"Kami bukan kerajaan, Arvin," kata Mara sambil berjalan di sisinya. "Kami adalah orang-orang yang lelah melihat dunia dikuasai oleh ambisi buta."

Arvin hanya mengangguk pelan. Ia memandang sekeliling, mencoba menilai siapa saja yang menjadi bagian dari kelompok ini. Rata-rata mereka tampak seperti mantan prajurit, penyihir kelana, hingga rakyat biasa yang kini mengangkat senjata.

Di tengah kerumunan, seorang pria paruh baya dengan jubah biru tua mendekat. Ia membawa tongkat panjang yang tampak tua namun kuat.

"Jadi ini Arvin," katanya sambil tersenyum kecil. "Aku Eldric, salah satu pendiri kelompok ini."

Arvin menatapnya tajam. "Apa yang kalian rencanakan?"

Eldric tersenyum samar, lalu mengisyaratkan Arvin untuk duduk di dekat perapian. "Kami ingin mengakhiri perebutan kekuasaan antar kerajaan. Tapi kami sadar, tanpa kekuatan seperti milikmu, kami tak lebih dari sekumpulan pemberontak kecil yang mudah dihancurkan."

Arvin mendengarkan tanpa bicara. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ini benar-benar tentang kedamaian... atau hanya kepentingan lain yang diselimuti kata-kata indah.

"Ada kerajaan baru," lanjut Eldric, suaranya serius, "Kerajaan Vardos. Mereka bergerak cepat, menaklukkan kota-kota kecil satu per satu. Jika mereka tidak dihentikan, dunia akan kembali tenggelam dalam perang besar."

"Dan kalian ingin aku menghadang mereka?" tanya Arvin dengan nada datar.

"Bukan hanya menghadang," jawab Mara cepat. "Kami ingin kau menjadi simbol. Seseorang yang bisa menyatukan mereka yang tersisa untuk melawan kezaliman."

Arvin terdiam. Setelah semua yang terjadi—pengkhianatan, kehilangan, pengusiran—sekarang dunia memintanya kembali untuk berjuang.

"Kenapa harus aku?" gumam Arvin akhirnya. "Aku bukan pahlawan. Aku bahkan bukan siapa-siapa lagi."

Eldric menatap Arvin dalam-dalam, seolah mencoba melihat jauh ke dalam hatinya. "Karena hanya seseorang yang telah kehilangan segalanya... yang mampu memperjuangkan sesuatu tanpa pamrih."

Kata-kata itu menghantam Arvin seperti badai. Ia menunduk, mengingat wajah Lyra, ingatan tentang pengkhianatan Kiran, kehancuran Kerajaan Elmar. Semua itu telah membentuk dirinya menjadi seseorang yang baru—dingin, kuat, dan mungkin... siap untuk tujuan baru.

"Aku butuh waktu," kata Arvin akhirnya.

Eldric dan Mara saling bertukar pandang, lalu mengangguk. "Kau punya waktu," kata Mara lembut. "Tapi ingat, Arvin... dunia tidak akan menunggu terlalu lama."

Malam itu, Arvin duduk sendirian di bawah langit berbintang. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasakan sesuatu di dalam dirinya... sesuatu yang mungkin bisa disebut harapan. Tapi juga sebuah keputusan besar—apakah ia akan membiarkan masa lalunya terus membelenggu, atau menggunakan lukanya untuk menciptakan sesuatu yang lebih besar.

Di kejauhan, angin membawa suara genderang perang. Waktu Arvin untuk memilih akan segera tiba.