Bab 30: Dentang Perang di Ambang Pagi

Fajar baru saja menyentuh cakrawala saat Arvin membuka matanya. Udara di benteng tua itu terasa berat, seolah menandakan sesuatu yang buruk akan datang. Ia berdiri dari tempat tidurnya yang sederhana, mengambil pedangnya, dan keluar dari ruangan batu yang dingin.

Di luar, suasana sudah mulai sibuk. Beberapa anggota kelompok Mara dan Eldric tampak berlari-lari kecil, wajah mereka tegang. Ada sesuatu yang tidak beres.

Mara berlari menghampirinya, napasnya memburu. "Arvin! Mereka datang! Pasukan Kerajaan Vardos menemukan markas kita!"

Arvin mengeraskan rahangnya. Ia belum sepenuhnya memutuskan untuk bergabung... namun sekarang pilihan itu seolah dipaksa di hadapannya.

Di kejauhan, suara gemuruh pasukan terdengar, disertai dengan dentuman-dentuman berat—gerobak perang, kuda-kuda baja, dan sihir yang menyelimuti udara.

Eldric berdiri di atas sebuah batu besar, mengangkat tongkatnya. "Semua! Ambil posisi! Kita bertahan sebisa mungkin!"

Arvin menggenggam pedangnya. Aura dingin yang telah menjadi bagian dari dirinya mulai merembes keluar, menutupi tanah di sekitarnya dengan es tipis. Dia menghela napas panjang. Masa lalunya mungkin penuh luka, tetapi hari ini, dia memilih untuk bertarung... bukan untuk kerajaan mana pun, tapi untuk dirinya sendiri.

Saat pasukan Vardos mulai menyerbu ke benteng, panah api melesat di langit. Ledakan mengguncang dinding benteng yang sudah rapuh. Arvin melangkah maju ke gerbang utama, menghadapi puluhan prajurit Vardos yang berpakaian besi hitam.

Seorang komandan Vardos, bertubuh besar dan memegang kapak dua tangan, menunjuk ke arah Arvin. "Itu dia! Orang dengan pedang kuno! Tangkap dia hidup-hidup!"

Arvin hanya menatap dingin. Tidak ada ketakutan dalam matanya—hanya keteguhan hati yang membatu. Dengan satu gerakan cepat, ia menghunus pedangnya. Aura biru es meledak dari bilahnya, membuat tanah di bawah kaki para prajurit membeku.

Satu demi satu, pasukan Vardos berusaha menyerang, tapi Arvin bergerak seperti badai beku. Setiap tebasannya mengunci musuh-musuhnya dalam lapisan es kristal, menghentikan serangan mereka seketika.

Namun, jumlah lawan terlalu banyak. Untuk setiap prajurit yang dijatuhkan Arvin, lima lainnya maju menggantikan. Mara dan anggota lain juga bertarung mati-matian, namun keadaan semakin kritis.

Tiba-tiba, sebuah ledakan besar menghantam gerbang utama, menghancurkan hampir seluruh dinding depan benteng. Dari balik asap, muncul seorang penyihir Vardos, berjubah merah darah, dengan mata menyala penuh kebencian.

"Arvin!" seru penyihir itu. "Kekuatanmu akan menjadi milik kami!"

Arvin menatapnya tanpa gentar. "Kalau mau... datang dan rebut sendiri."

Mara berteriak dari belakang, "Arvin, hati-hati! Dia pengguna sihir tingkat tinggi!"

Namun Arvin tidak mundur. Ia maju, melangkah menghadapi penyihir itu sendirian, aura beku di sekeliling tubuhnya semakin pekat, membentuk kabut es yang berputar di sekitarnya.

Sebuah duel dahsyat dimulai. Sihir api merah membara melawan es biru membeku, benturan kekuatan itu membuat udara bergetar dan tanah retak. Setiap serangan Arvin kini tidak hanya membekukan musuh, tapi juga mengunci sihir lawannya, membuat sihir api sulit meledak.

Pertempuran menjadi klimaks ketika Arvin mengumpulkan seluruh kekuatan pedangnya. Dengan teriakan keras, ia mengayunkan tebasan besar ke arah penyihir itu, membentuk gelombang es raksasa.

Penyihir itu berusaha bertahan, tapi terlalu terlambat. Es menyelimuti tubuhnya, membekukannya dalam patung kristal biru yang mengerikan.

Sisa pasukan Vardos yang melihat itu segera gemetar ketakutan. Mereka tidak lagi melihat Arvin sebagai manusia—tetapi sebagai sosok dingin yang tak bisa dikalahkan.

Pasukan Vardos yang tersisa memilih melarikan diri, meninggalkan reruntuhan benteng yang berlumur salju dan darah.

Saat keheningan turun, semua mata tertuju pada Arvin.

Eldric menghampirinya dengan langkah berat. "Kau... kau menyelamatkan kita semua."

Arvin hanya menghela napas berat. Dia menundukkan pedangnya, menatap langit pagi yang perlahan cerah. "Aku tidak melakukannya untuk kalian," katanya dingin. "Aku melakukannya... untuk diriku sendiri."

Namun jauh di dalam hatinya, Arvin tahu—mungkin, hanya mungkin—jalan barunya sudah mulai terbentuk.