Setelah kemenangan tipis itu, benteng tua kembali hening. Api-api kecil menyala di sana-sini, menerangi wajah-wajah kelelahan tapi lega dari para pejuang.
Arvin duduk sendirian di sebuah sudut, membersihkan bilah pedangnya yang berkilauan dingin di bawah cahaya rembulan. Pedang itu... selama ini menjadi teman setianya. Tapi ia sadar, kekuatan yang terkandung di dalamnya terlalu besar untuk sekadar disebut "pedang biasa."
Mara menghampirinya, membawa gulungan tua yang usang. Ia tampak ragu sejenak sebelum berkata, "Arvin... ada sesuatu yang perlu kau lihat."
Arvin menatapnya datar, lalu mengambil gulungan itu. Ia membuka perlahan, dan di sana tertera tulisan kuno dalam bahasa yang samar, disertai gambar pedang yang sangat mirip dengan miliknya.
Eldric mendekat dan menjelaskan, suaranya berat, "Pedangmu... bukan sekadar senjata. Ia adalah peninggalan dari zaman kuno, bahkan sebelum kerajaan-kerajaan saat ini berdiri."
Arvin menyipitkan mata, membaca tulisan yang samar.
> "Sang Pedang Arctyrium—dibentuk dari es abadi dan darah seorang Raja Terakhir. Hanya tangan yang terluka oleh pengkhianatan terbesar yang mampu membangkitkan kekuatan sejatinya."
Arvin membeku. Kata-kata itu menggema dalam benaknya. "Tangan yang terluka oleh pengkhianatan..."
Pikirannya langsung melayang pada Lyra dan Kiran—pengkhianatan yang hampir menghancurkannya.
Eldric melanjutkan, "Itu sebabnya pedangmu bereaksi saat kau berubah. Bukan kekuatan biasa yang mengalir dalam dirimu, Arvin. Kau telah menjadi perwujudan kehendak pedang itu."
Mara menatap Arvin, matanya serius. "Kekuatan ini... bukan hanya untuk bertahan. Arvin, kau ditakdirkan untuk mengubah jalannya dunia."
Arvin menggeleng perlahan. "Takdir? Aku tak percaya takdir. Semua ini terjadi... karena pilihan mereka. Pilihan yang menghancurkan aku."
Eldric menunduk dalam. "Mungkin begitu. Tapi sekarang kau punya pilihan juga, Arvin. Gunakan kekuatan itu untuk membalas... atau untuk membangun sesuatu yang baru."
Arvin menatap pedangnya lama sekali. Di pantulan bilahnya, ia melihat bayangan dirinya sendiri—bukan lagi pemuda lugu dari masa lalu, tapi seseorang yang telah ditempa oleh luka, dingin, dan kekuatan.
Mara meletakkan tangan di pundaknya. "Apa pun keputusanmu... kami akan mengikutimu."
Arvin berdiri perlahan, memasukkan pedang ke sarungnya. Ia menatap jauh ke arah cakrawala, di mana bayangan kerajaan-kerajaan masih tampak samar di kejauhan.
"Aku tak akan lagi mengikuti dunia," gumamnya pelan. "Sekarang... dunia yang harus mengikuti jalanku."
Malam itu, di antara reruntuhan dan bintang-bintang yang bergulir, Arvin mengambil langkah pertamanya menuju takdir barunya—tak lagi sekadar prajurit, atau pengembara... tetapi sebagai kekuatan yang akan mengubah dunia.