Gelap malam menyelimuti daratan ketika suara genderang perang menggema dari kejauhan.
Dari utara, timur, dan barat, pasukan besar bergerak.
Aliansi kerajaan telah mengerahkan ribuan prajurit, penyihir, bahkan pembunuh bayaran terkuat mereka—semuanya untuk satu misi: menangkap atau menghancurkan Arvin.
---
Arvin berdiri di puncak bukit batu, jubahnya berkibar diterpa angin malam. Di bawahnya, obor-obor pasukan musuh membentuk garis panjang, membelah hutan, mendekat ke arah persembunyiannya.
Mara datang tergesa-gesa. "Arvin! Mereka akan mengepung kita dari tiga arah! Kita harus pergi!"
Arvin menggeleng perlahan. Tatapannya kosong, tapi aura di sekelilingnya begitu padat dan berat hingga udara sendiri terasa membeku.
"Aku sudah cukup lama bersembunyi," katanya pelan. "Malam ini... aku akan menunjukkan pada mereka bahwa aku bukan mangsa."
Eldric, yang berdiri tidak jauh, berkata lirih, "Ini... akan menjadi perang satu orang melawan seluruh dunia."
Arvin hanya tersenyum tipis. "Biarkan dunia merasakan apa artinya menantang seseorang yang telah kehilangan segalanya."
---
Pasukan pertama datang dari timur—panah api menghujani langit.
Arvin mengangkat pedangnya. Dengan satu tebasan kuat, sebuah dinding es raksasa muncul dari tanah, membekukan seluruh panah yang meluncur.
Prajurit yang melihatnya mundur ketakutan, namun komandan mereka berteriak, "Terus maju! Dia sendirian!"
Pasukan berlari, tapi Arvin melangkah maju sendiri, tubuhnya diselimuti kabut es yang menari liar.
Satu ayunan pedangnya menghantam tanah—menciptakan gelombang es yang membekukan puluhan prajurit sekaligus.
Suara teriakan ketakutan bergema di malam itu.
---
Tak lama, pasukan kedua dari barat datang—dengan penyihir-penyihir elit.
Mereka melepaskan bola-bola api, sihir petir, dan badai angin.
Tapi Arvin bukan lagi orang biasa.
Dengan gerakan cepat, ia berputar, membentuk kubah es di sekeliling dirinya.
Sihir-sihir itu terpental balik, meledak di antara para penyihir sendiri, membuat barisan mereka kacau.
Salah satu penyihir berteriak, "Ini mustahil! Mana manusia bisa mengendalikan kekuatan seperti itu?!"
Arvin hanya menatap mereka tanpa emosi, lalu menghantamkan pedangnya ke tanah lagi. Rantai-rantai es menjalar ke tubuh para penyihir, mengurung mereka dalam penjara kristal.
---
Namun, dari utara, musuh terberat muncul:
Tiga jenderal kerajaan, prajurit legenda, bersama ratusan ksatria elit berbaju zirah hitam.
Mereka tidak gentar.
Mereka tahu, mereka menghadapi makhluk yang lebih dari sekadar manusia.
Salah satu jenderal maju sambil mencabut pedang emasnya. "Arvin! Ini akhirnya! Bersiaplah untuk dihancurkan!"
Arvin memejamkan mata sebentar, merasakan es yang mengalir dalam darahnya, lalu membuka mata dengan kilatan dingin yang tajam.
"Aku sudah hancur sejak lama," katanya lirih.
Dan kemudian, ia meluncur ke depan seperti badai es hidup—menyerbu tiga jenderal sekaligus.
Tubuh-tubuh berbenturan, bilah pedang bertemu, sihir dan kekuatan mengamuk di medan perang malam itu.
Tanah retak. Udara membeku.
Satu dunia melawan satu orang.
Dan dunia mulai menyadari:
Mereka mungkin telah membuat musuh terburuk yang pernah ada.