Hujan turun deras membasahi reruntuhan bekas pertempuran. Langkah Arvin terhenti di tengah lapangan yang becek dan beraroma tanah basah. Pedang sihir di punggungnya bergetar halus, seolah ikut merasakan gejolak hatinya.
Di seberang medan itu, berdiri sosok yang tak asing — Elira, utusan baru dari Kerajaan Elmar. Gadis itu mengenakan jubah hitam, wajahnya tersembunyi di balik tudung. Meski begitu, sorot matanya yang tajam tak bisa disembunyikan.
"Arvin," panggil Elira, suaranya nyaris tertelan hujan. "Raja memohon. Kembalilah... kita butuh kau."
Arvin menatapnya lama, tanpa menjawab. Kenangan pengkhianatan masa lalu berkelebat di pikirannya — luka yang belum sepenuhnya sembuh.
"Aku sudah memilih jalanku," akhirnya Arvin berkata, dingin. "Kerajaan Elmar bukan lagi urusanku."
Elira melangkah mendekat, air hujan mengguyur rambutnya hingga menempel di wajah. "Kami tahu apa yang mereka lakukan dulu padamu. Tapi rakyat tidak bersalah, Arvin. Mereka membutuhkan harapan."
Arvin mengepalkan tangannya. Dalam hatinya, masih ada sedikit bara keadilan yang belum padam. Namun luka itu... terlalu dalam untuk diabaikan begitu saja.
"Aku tidak di sini untuk menjadi pahlawan," gumam Arvin.
Elira tersenyum tipis, getir. Ia membuka jubahnya, memperlihatkan tanda perjanjian sihir — simbol yang dulu Arvin kenal betul.
"Tanda ini... aku bersumpah atas namamu. Aku akan menebus kesalahan kami. Bahkan jika itu mengorbankan hidupku," kata Elira.
Hening. Hanya suara hujan dan detak jantung Arvin yang bergema di pikirannya.
Akhirnya, perlahan, Arvin melangkah maju.
"Buktikan kata-katamu, Elira," katanya lirih. "Kalau kau bohong... aku akan menjadi mimpi buruk terakhirmu."
Elira mengangguk tegas. "Aku mengerti."
Di tengah badai, dua jiwa yang terluka mengikat janji baru — tak untuk kejayaan, melainkan untuk penebusan.