Bab 35 — Darah dan Janji

Malam itu, kabut tebal menyelimuti hutan di perbatasan Elmar. Arvin dan Elira bergerak cepat, membelah kegelapan. Di tangan Arvin, pedang sihirnya berpendar samar, menuntun langkah mereka.

"Pasukan pengawal pemberontak bersembunyi di sini," bisik Elira. "Mereka yang menghianati kerajaan dari dalam."

Arvin hanya mengangguk. Di matanya, tak ada lagi keraguan — hanya ketegasan dingin yang tajam seperti bilah pedangnya.

Tiba-tiba, dari balik pepohonan, segerombolan prajurit bersenjata muncul, mengepung mereka.

"Serahkan diri kalian!" bentak salah satu dari mereka. "Atau mati di tempat!"

Arvin hanya memiringkan kepala, menatap mereka seakan-akan mereka hanyalah daun kering di jalannya.

Seketika, ia mengayunkan pedangnya — cahaya biru menyambar, memotong udara dan menghantam lawan terdekat. Tubuh mereka terpental keras, menghantam pohon dengan suara retakan tulang yang jelas terdengar.

Pertarungan meledak.

Elira menghunus belatinya, bergerak lincah seperti bayangan, menusuk tepat ke titik-titik vital. Tapi tidak semuanya berjalan mulus — salah satu prajurit berhasil melukai lengannya.

"Elira!" seru Arvin, melompat ke arahnya.

Dalam sekejap, dia mengayunkan pedangnya, membentuk perisai sihir yang menghalau serangan lanjutan. Darah menetes dari luka Elira, tapi ia berdiri tegar, wajahnya menahan sakit.

"Aku tidak akan jatuh," gumam Elira, menggertakkan giginya.

Arvin memandangnya sejenak — di balik keras kepala itu, ia melihat sesuatu: ketulusan.

Sesuatu yang dulu hilang dari semua yang pernah ia percayai.

Dengan teriakan menggelegar, Arvin melepaskan kekuatan pedangnya sepenuhnya. Gelombang sihir menerjang, menghancurkan tanah dan menggulung semua musuh dalam ledakan cahaya biru yang menyilaukan.

Saat semuanya berakhir, hutan sunyi kembali.

Elira berlutut, kehabisan tenaga, tapi masih tersenyum tipis ke arah Arvin.

"Kau melindungiku..." katanya pelan.

Arvin berlutut di depannya, membantu menopang tubuhnya.

"Aku tidak akan membiarkan orang yang bersumpah di hadapanku mati sia-sia," bisik Arvin.

Di bawah cahaya rembulan yang muram, dua orang yang berbeda — satu dihantui masa lalu, satu berusaha menebus kesalahan — memulai langkah pertama mereka menuju sesuatu yang mungkin... lebih dari sekadar dendam.

Mungkin... harapan.