Bab 39 — Tangan yang Terluka

Pagi menyingsing perlahan, membawa hawa dingin yang menggigit tulang.

Di tepi sungai kecil itu, Arvin duduk seorang diri, membalut luka di tangannya yang mulai membengkak.

Tangan kanannya — tangan yang memegang pedang — kini bergetar ringan, tak sekuat biasanya.

Elira mendekat dengan secangkir air hangat di tangannya.

> "Kau harus istirahat, Arvin," katanya lembut.

Arvin hanya mengangguk, tapi tetap sibuk mengikat perban di tangannya sendiri.

Matanya fokus, penuh tekad, seolah rasa sakit itu tidak penting dibandingkan tugas yang menantinya.

Elira berjongkok di hadapannya, meraih perban itu dari tangan Arvin.

> "Biar aku yang mengurus," katanya tegas.

Arvin menatap Elira.

Untuk sesaat, ketegangan di matanya mencair — berganti rasa hangat aneh yang sulit ia mengerti.

Saat Elira membalut luka di tangannya, Arvin merasa... rapuh.

Bukan karena fisiknya, tapi karena hatinya.

Sudah terlalu lama sejak ada seseorang yang memperlakukannya dengan begitu... lembut.

---

Setelah beberapa saat, Elira bertanya dengan suara hampir berbisik:

> "Kalau tanganmu tidak sembuh... kau tetap akan bertarung, kan?"

Arvin tersenyum kecil — senyum lelah.

> "Aku bertarung bukan karena ingin. Tapi karena harus."

Elira menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi.

> "Kadang... aku berharap kau juga memilih bertahan untuk dirimu sendiri, bukan hanya untuk dunia ini."

Arvin tak menjawab.

Ia hanya memandang tangan kanannya yang kini terbalut rapi — tanda bahwa tubuhnya mulai mengkhianatinya.

Tanda bahwa waktu Arvin di dunia ini... perlahan mendekati akhir.

---

Sore harinya, pasukan kecil Arvin mulai bergerak menuju Elmar.

Mereka harus melapor pada raja — dan memberitahu bahwa pemberontakan utama sudah dihancurkan.

Tapi jauh di dalam hatinya, Arvin merasa... ini bukan akhir.

Ada sesuatu yang lebih besar — sesuatu yang mengintai di balik bayang-bayang.

Sesuatu yang akan menuntut pengorbanan lebih besar daripada sekadar tangan yang terluka.

---

Bab 39 selesai.