Bab 41 — Janji Terakhir

Langit mendung menggantung di atas Elmar.

Hawa di dalam istana terasa berat, seolah dinding-dinding batu itu sendiri tahu ada sesuatu yang salah.

Arvin berdiri di aula kosong, menatap lambang kerajaan yang tergantung tinggi di dinding — sebuah singa emas yang mencengkeram pedang.

Simbol kekuasaan.

Simbol ambisi.

Elira datang membawa kabar.

Wajahnya pucat.

> "Arvin... Raja Cedric memanggilmu ke ruang rahasia. Hanya kau yang diizinkan masuk."

Arvin mengangguk. Tanpa sepatah kata, ia berjalan menyusuri lorong gelap yang panjang, hanya ditemani suara langkah kakinya sendiri.

Di depan pintu besar berukir itu, dua pengawal membungkuk dan membuka jalan.

Arvin masuk.

---

Raja Cedric berdiri di depan peta besar yang terbentang di meja kayu.

Tanpa menoleh, ia berkata:

> "Pemberontakan mungkin telah selesai, Arvin. Tapi stabilitas kerajaan... belum."

Arvin tetap diam, menunggu.

Raja Cedric berbalik, matanya berkilat aneh.

> "Aku membutuhkanmu untuk satu tugas terakhir."

> "Apa itu?" tanya Arvin datar.

> "Ada faksi-faksi kecil yang masih membangkang. Aku ingin kau... menghilangkan mereka. Diam-diam. Dengan kekuatanmu."

Arvin mengerutkan alis.

> "Mereka rakyat kita sendiri, Yang Mulia."

> "Mereka ancaman!" bentak Raja Cedric, tangannya mengepal.

"Kalau tidak kita bereskan sekarang, pemberontakan lain akan lahir."

Arvin menatap sang Raja dalam-dalam.

Dalam tatapan itu, ia melihat ketakutan — dan keinginan untuk mempertahankan tahta, berapa pun harganya.

Arvin sadar: ini bukan lagi tentang melindungi rakyat.

Ini tentang melindungi kekuasaan.

---

> "Aku bertarung untuk keadilan, bukan untuk membunuh tanpa alasan," kata Arvin tegas.

Raja Cedric tersenyum tipis — senyum dingin.

> "Kau lupa, Arvin. Kau bukan hanya seorang prajurit. Kau alat kerajaan."

Suasana di ruangan itu menegang.

Arvin mengepalkan tangan kirinya erat-erat — tangan kanannya masih sakit, berdenyut pelan di bawah perban.

Untuk pertama kalinya, Arvin merasa — janji yang ia buat dulu, untuk melindungi Elmar, mungkin sudah hampa.

---

Malam itu, di kamar sederhana yang diberikan untuknya, Arvin duduk termenung di ranjang.

Elira masuk diam-diam, membawa selimut tambahan.

> "Apa yang Raja katakan?" tanyanya.

Arvin menatap jendela, ke arah langit gelap.

> "Dia memintaku melakukan hal yang tak bisa kulakukan."

Elira mendekat, suaranya pelan.

> "Kau tidak sendiri, Arvin. Apapun yang kau pilih... aku akan tetap di sisimu."

Arvin memejamkan matanya.

Di dunia yang penuh pengkhianatan, janji kecil itu terasa seperti sinar terakhir di tengah kegelapan.

Tapi jauh di lubuk hatinya, Arvin tahu —

Janji terakhir ini mungkin akan diuji lebih keras dari yang pernah ia bayangkan.

---

Bab 41 selesai.